013

16.2K 2.3K 62
                                    

|| Perjanjian Pra Pertemanan ||

.

.

.

Eunike selesai menulis poin-poin yang dia rasa cukup untuk membuat pertemanannya dengan Weza akan baik-baik saja. Sejujurnya Eunike sadar bahwa permainan ini mungkin hanya akan membuatnya terbawa arus lalu tenggelam dan terluka. Namun, ia tidak bisa menampik bahwa hanya Weza yang bisa menjadi temannya. Meskipun Weza menyebalkan dan suka bertindak sesukanya, setidaknya Weza membuat Eunike merasa ada. Weza membuat Eunike memiliki arti untuk orang lain selain menjadi mesin pekerja dan pencari uang.

Ia butuh sesuatu atau seseorang untuk mengalihkannya dari kelelahan dunianya. Walaupun pilihannya kali ini mungkin salah, tapi Eunike sudah memikirkan risiko yang bisa saja terjadi nantinya. Itulah alasannya ia menulis beberapa peraturan untuk dia dan Weza.

"Dibaca dulu, Za." Eunike mengeser kertas perjanjian di tangannya mendekat ke Weza.

Weza masih sibuk mengunyah makanannya. Ia benar-benar tetap makan, meskipun Eunike tidak menyentuh makanan yang sudah dipesankan olehnya. Ucapan lapar yang dikatakannya bukan sekedar modus agar Eunike mau makan berdua dengannya.

"Kamu makan dulu, aku juga belum selesai ini. Aku turutin semua maumu tapi seenggaknya kamu juga dengerin permintaan aku." Weza menarik semangkuk sapo tahu ke hadapan Eunike. Tangannya meraih sendok lalu meletakannya di telapak tangan Eunike.

"Kamu beneran playboy sejati. Wanita mana yang tahan sama perlakuan kamu ini?" Eunike mengaduk sapo tahu miliknya.

Weza tersenyum tipis, ia sadar Eunike sedang menyindir sikapnya. "Kamu buktinya tahan." Weza meletakan sendok di tangannya lalu menatap Eunike lekat. "Atau kamu pura-pura tahan?" Dia menaik turunkan sepasang alisnya bergantian dengan senyuman jenaka.

Eunike tidak menjawabnya, ia justru mengambil satu suapan sapo tahu ke dalam mulutnya. Kehangat kuah yang bercampur jahe dan gurihnya saus tiram membanjiri indra pengecapnya. Kelembutan tahu dan tekstur beragam dari campuran sayuran segar dan aneka seafood membuat Eunike sedikit menyesal kenapa ia tidak menyantapnya sedari awal. Makanan yang sedang dinikmatinya ini, menjadi tempat bersembunyi dari pertanyaan Weza. Bersyukurnya, pria itu sama sekali tidak menekan Eunike untuk menjawab pertanyaannya. Weza juga seperti tidak peduli dengan pertanyaannya, karena kini ia sudah kembali bergelut dengan nasi goreng kambing miliknya yang hampir kandas.

Tidak lama Weza selesai mengisi perutnya sampai kenyang, ia mengambil teh manis di sisi meja lalu meminumnya sampai tidak bersisa. Kecuali gula-gula yang tidak larut dan batu es yang sudah mengecil. Mereka memang makan di pujasera kota bukan di Mall. Seperti yang telah Weza katakan, ia akan menuruti semua kemauan Eunike selama wanita itu juga mau mendengarkan dirinya. Weza menuruti Eunike untuk tidak boros dengan makan di Mall setelah dia boros membeli dua tiket yang sama, lalu karena Eunike malas menjadi pusat perhatian karena penampilan dirinya yang berbeda dengan Weza. Meskipun sebenarnya Weza tidak masalah dengan itu semua, tapi ia tetap membiarkan dirinya menuruti wanita itu. Sementara Eunike mendengarkan Weza untuk mau dibonceng olehnya. Semua pihak disenangkan dan tidak dirugikan. Adil bagi keduanya.

Mata Weza bergerak, membaca setiap detail tulisan tangan Eunike yang tersusun rapi dan mudah dibaca. Ia tersenyum pada beberapa poin, lalu mengerutkan keningnya pada poin yang lain. Eunike mencuri pandang pada setiap ekspresi yang Weza tunjukan. Ia sudah siap menerima revisi dan berdebat jika memang dibutuhkan.

"Cuma segini aja?" Weza mengacungkan kertas perjanjian tersebut dengan enteng.

Eunike menelan cumi di tenggorokannya dengan sedikit kesusahan. Kepalanya mengangguk yakin meski hatinya tidak begitu yakin.

Without WingsWhere stories live. Discover now