005

18K 2.6K 89
                                    

|| Pengagum Rahasia ||

.

.

.

"Aw!" Weza mengelus kepalanya yang baru saja dipukul Tama.

"Gila lu ya?! Sakit kampret!" Weza membalas perbuatan Tama dengan hal yang sama. Sayangnya, Tama sudah mengantisipasi perlawan Weza sehingga ia mampu menghindari pukulan Weza.

Anjar, Febrian dan Bang Haris cuma tertawa-tawa melihat interaksi dua pasangan sejenis itu.

"Mata lu itu loh, Za. Liatin Ayla udah kaya kelaperan gitu." Tama melirik pada meja yang cukup jauh dari meja mereka. Di sana memang ada Ayla dan teman-temannya.

"Cemburu bilang, ga usah main tangan." Weza merapikan rambutnya sebentar lalu mengikuti arah mata Tama. Bukan Ayla yang sedang diperhatikannya, tapi Eunike. Sejak gerombolan cewek-cewek itu masuk kantin, mata Weza sudah terpatri pada sosok Eunike. Pikirannya melayang pada kejadian hari Sabtu lalu, menerima kenyataan bahwa sejelek itu dirinya di mata Eunike.

"Lu udah jadian belum sih sama Ayla, Za?" Febrian mengigit kerupuknya seraya ikutan melirik meja ---tempat Ayla dan perempuan lain sedang tertawa-tawa.

Weza mengelengkan kepalanya sebentar. "Belum," jawabnya jujur.

"Cari korban lain lah, Za. Jangan Ayla. Di luar sana masih banyak perempuan yang mau sama lu kali."

Perkataan Tama membuat Weza kembali menatap sahabatnya itu. "Kalau lu ngincer Ayla juga, ya kita saingan sehat aja. Ga usah ngomong seakan gue ini penjahat dan Ayla korbannya. Pikiran lu tuh buruk banget ya, Tam. Lu sama aja kaya si Nike."

"Nike? Eunike?" Bang Haris yang sedari tadi menyimak akhirnya angkat suara.

Weza bergumam, mau mengiyakan tapi juga merasa tidak enak. Semuanya gara-gara Eunike yang mulai berkeliaran di dalam pikirannya, Weza jadi keceplosan menyebut namanya.

"Kenapa si Eunike?" Anjar merapatkan diri pada meja agar bisa mendengar lebih jelas.

"Bukan apa-apa." Weza meraih ponselnya, berpura-pura tidak peduli lagi dengan pokok bahasan. Tangannya bermain-main pada benda pintar tersebut, mengabaikan pertanyaan teman-temannya yang semakin penasaran.

"Kayanya cewek kantor, cuma Eunike yang ga asik diajak main ya." Febrian melontarkan pertanyaan yang lebih terdengar seperti pernyataan. Mungkin akal-akalannya untuk menghindari konfrontasi antara Tama dan Weza.

"Cewek-cewek juga bilang begitu kan, di depan aja mereka bareng-bareng. Di belakangnya, ya diomongin juga. Mending kita lah, ngomong langsung di depan orangnya." Tama menyahuti ucapan Febrian.

"Padahal gue lumayan suka Eunike loh. Keliatan beda aja dari cewek-cewek lain." Anjar menghela napas panjang.

Tangan Weza berhenti bermain pada layar ponselnya begitu mendengar ucapan Anjar. Pelan-pelan mata Weza mengarah pada Anjar dan memperhatikannya.

"Mandiri ya, Jar?" Bang Haris tersenyum penuh arti.

Anjar menganggukan kepalanya. "Iya, rata-rata cewek selalu mengandalkan kita untuk bantuin mereka. Kadang cuma hal kecil dan ringan aja mereka tetap ga mau melakukannya sendiri. Mentang-mentang cewek jadi merasa harus dimanja. Suka teriak emansipasi wanita dimana-mana, tapi emansipasinya milih-milih. Bingung gak sih sama cewek? Makanya buat gue, Eunike tuh beda, ya dia emang beneran mandiri. Lagian kita cowok juga tau lah mana yang harus dibantu dan mana yang gak perlu."

Febrian menganggukan kepalanya setuju. "Bener sih, cuma ...."

"Cuma apa?" Weza tidak bisa menahan dirinya untuk kembali terlibat percakapan tentang Eunike.

Without WingsΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα