VS 35 | More Pained

809 124 3
                                    

Tempat ini sepi, sunyi, gelap, dan membuatnya merasa sendirian. Kalau dipikir-pikir, ia merupakan malaikat paling menyedihkan yang ada. Itu Erza. Di dalam kostan kecil yang ia sewa sekitar beberapa waktu lalu. Tepatnya sejak ia memutuskan untuk pergi dari rumah Helen.

Lagi pula, kedua castydile-nya sudah hampir bersama. Tinggal menyingkirkan benang sialan yang merupakan pengganggu bagi kedua benang utama. Benang merah miliknya.

Memalukan.

Bip!

Erza melirik ponselnya yang berbunyi di atas meja. Sebuah panggilan telepon tercantum pada layarnya.

Castydile ♂

Itu panggilan telepon dari Nathan. Sesuai dengan lambang yang tertulis di sana. Erza dengan cepat mengangkatnya.

"Halo?" Erza memulai percakapan.

Sungguh, ia tak pernah tahu siapa yang harus berkata terlebih dulu saat seseorang meneleponnya. Sejujurnya, ia tak peduli selama tujuan utamanya tersampaikan.

"Za, bisa ketemu?" tanya Nathan di seberang sana langsung.

"Di mana?" balas Erza sekaligus bertanya.

"Lo di mana sekarang?" Nathan bertanya balik.

"Di kosan."

"Anju, kapan lo pindah?!"

"Nggak penting. Ketemu aja, kos baru daerah Muara. Tau nggak?"

"Oh, Laskar kost?"

"Iya, lantai 3 paling pojok."

"Oke, gue otw."

Ini nih gak enaknya tinggal bukan di rumah Helen. Nathan mau bertemu dengannya saja sulit. Kalau biasanya kan tinggal loncat balkon.

***

"Anggap aja ini fantasi," kata Erza setelah menjelaskan semuanya pada Nathan, termasuk dirinya sendiri siapa. "Tapi gue nggak bohong."

"Helen tau?" tanya Nathan diiringi anggukan Erza.

"Gak usah tanya kalau itu." Erza membawa dua buah jus jambu dalam gelas. "Cuma ada ini, sori."

Nathan tersenyum. "Gak apa kali."

Sepi. Kali ini tak ada yang bicara. Nathan masih sedikit tak percaya dengan apa yang dijelaskan oleh Erza walau bukti-buktinya sudah ia lihat dan alami. Tapi tetap saja kalau semua ini seperti―fantasi. Ya, anggap saja begitu.

Kata Erza, ia adalah seorang malaikat penjaga benang takdir yang menghubungkan Helen dan Nathan, dan mereka berdua adalah castydile-nya Erza. Sulit dipercaya. Oke, sudah berapa kali ia berkata seperti itu.

"Awalnya Helen juga nggak percaya," kata Erza, "bahkan dia marah waktu tau kalau pasangan takdirnya itu Lo."

Ssh! Hati milik Nathan kalau hidup mungkin sudah meringis. Tapi biarlah. Toh wajar saja kalau dulu cewek itu sangat membencinya. Bukan hal yang aneh. "Tugas lo udah beres, hmm?" tanya Nathan. "Itu maksudnya."

Erza menggeleng. "Sebentar lagi, masih ada benang yang nyangkut."

Jujur saja. Ini menyakitkan bagi Erza. Kalimat nyangkut itu benar-benar menyebalkan. Tapi itulah kenyataannya.

Ssh!

"Nggak usah dipaksa," kata Nathan yang sekilas mengulas senyum ... yang Erza tahu ada kesedihan di balik semua itu.

"Kadang gue pikir gue nggak guna jadi malaikat yang bertanggung jawab sama kalian," kata Erza penuh sesal, "gue gagal di bumi, Nat."

Nathan terdiam. Ia tak mengerti di mana letak kegagalan Erza di sini. Bukankah ia dan gadis itu sudah kembali berbaikan dan... selesai, kan?

"Maaf," kata Erza, "gue malah suka sama Helen."

Deg.

Nathan tersentak. Demi apapun ... ini lebih sulit dipercaya. Apa yang dilakukan gadis itu hingga membuat seorang malaikat takdir seperti Erza ikut jatuh juga.

Erza membuka kausnya. Menampilkan bagian tubuh yang biasanya dijadikan patung torso. Maksudnya bagian tubuh atasnya. Sebuah kristal berwarna merah ada di sana. Hampir remuk seluruhnya.

"Sebelum semuanya hancur dan lepas," kata Erza, "sebelum gue lenyap. Tugas ini harus selesai."

Nathan bungkam. Bergeming. Ia bahkan tak bisa menyalahkan Erza. Ia yang membantu dirinya kembali pada Helen. Tapi di sisi lain, ialah yang membuat dirinya sendiri tersiksa. Akan perasaan itu.

"Semua harus selesai secepatnya," ucap Erza. "Lo harus janji buat dia bahagia." Senyuman Erza yang itu. Ah, sial! Itu mirip dengan senyumannya kala ia terjatuh dan seolah ada di dasar sebuah jurang.

Tapi satu hal yang pasti. Gak ada yang bisa berbuat apapun.

***

Love Life an Enemy Couple [END]Where stories live. Discover now