VS 30 | Dialogue

843 124 31
                                    

"Masa langsung ketahuan?" Erza tergelak saat Helen mengembalikan ponsel miliknya, dan memperlihatkan sebuah pesan dari Nathan. "Katanya bakat hode, tapi kok .... Hahahahaha, ini ngakak, plis."

Kena demam haha. Ini bukan Erza, ya?

Wajah gadis itu ditekuk. Mulutnya ugh! Ini tidak seperti seorang Helen. Tapi, selamat datang pada sisinya yang satu lagi. "Tau, ah!" tukas gadis itu sambil menahan wajahnya yang memanas.

Bagaimana bisa Nathan menebak kalau ia bukan Erza. Cepat sekali, padahal baru beberapa pesan. Ya, ingatlah bahwa cara bicara seorang gadis dan lelaki itu pasti berbeda. Sekali pun sering menyamar jadi laki-laki.

"Chat pake akun sendiri makanya," ujar Erza.

"Males," tukas Helen, "emang dia siapa gue?"

Erza tak kuasa menahan senyumnya. Nyatanya gadis ini masih menjunjung tinggi rasa gengsi dan pertahanan cintanya. Padahal secara tak langsung ia telah mengakuinya. Dasar. "Lah, katanya udah―"

"Gak usah bahas bagian situ dulu," potong Helen cepat, kemudian pergi meninggalkan Erza yang hampir tergelak kembali. "Bye!"

Tak lama setelah kepergian Helen. Rendy datang menghampiri Erza yang masih memandangi punggung gadis itu. Hingga tebersit pertanyaan dalam pikirannya tentang gadis itu.

"Kenapa?" tanya Rendy heran.

Erza yang menyadari keberadaan seseorang langsung menoleh. Ah, manusia yang hatinya ikut tertaut gadis itu juga ternyata. "Kayaknya lo bakal patah hati," kata Erza to the point.

Rendy terdiam sejenak. Menelan liurnya karena ia sedikit tersentak dengan pernyataan itu. Bagaimanapun juga ia punya rasa pada gadis itu. "Lo berdua jadian?" tanyanya ragu.

Erza menggeleng cepat. "Bukan."

"Terus?" tanya Rendy, "dia yang jadian?"

Lagi-lagi Erza menggeleng. "Bukan juga."

"Oh," balas Rendy yang sudah tak berminat pada percakapan ini. Karena kalau bukan itu semua, apa yang harus ia khawatirkan?

"Dia lagi suka sama orang."

Ugh, ia melupakan yang satu itu. Sedikit rasa sakit mencengkram dadanya.

"Hm," gumam Rendy kemudian bangun dari tempat duduknya. Ia ... benar-benar tak berminat dengan topik ini. Topik yang selalu membuatnya terlihat lemah dari sisi manapun.

Memalukan.

***

Ruang kelas 12 IPA 3 tampak ramai. Beberapa murid sedang membersihkan kelas. Karena minggu esok, mereka sudah memulai kegiatan UAS-nya. Ujian antara batas semester ini dan ... semester terakhir bagi kelas 12.

Waktu selalu berlalu begitu cepat~

"Le," panggil Helen pada Michelle yang kini sedang membersihkan lemari. Sementara dirinya sendiri sedang mengangkat bangku ke atas meja.

Gadis itu menoleh sejenak. Kemudian membuka masker yang ia gunakan untuk menghindari debu. "Ya?" tanya Michelle.

"Beres bebersih gue mau ngomong," Helen berkata serius pada sahabatnya.

"O—oke."

Beberapa waktu kemudian kelas sudah cukup bersih dibandingkan sebelumnya. Sampah berserakan, meja tak beraturan, hingga noda sepatu ada di dinding. Michelle meletakkan kemoceng, sapu, lap pel, dan beberapa alat kebersihan lainnya ke dalam lemari. Kemudian menguncinya dengan cepat. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, ia menghampiri Helen yang kini sibuk dengan ponselnya, sambil duduk di kursi paling depan. Tepatnya kursi guru.

"Len," panggil Michelle membuat gadis itu mendongak.

"Hmm." Helen mengangguk. "Di bawah aja, deh." Ia menunjuk lantai. Kemudian duduk menyila di tempat itu.

Suasana mendadak hening. Michelle ikut duduk menghadap Helen. Menatap gadis yang kini menunduk, baru mendongak setelah menarik napasnya.

"Gue suka sama orang salah nggak, sih?" tanya Helen membuat Michelle sedikit tertegun.

Kenapa ia jadi membahas topik yang sensitif ini, sih? Ah, ingin kabur saja rasanya. Tapi, Michelle tak mungkin melakukan semua itu.

"Eh, mana ada yang salah?"

Helen menyunggingkan senyumnya. Aneh, pikir Michelle. Apa yang sebenarnya terjadi sih dengan gadis ini? Sejak hari di mana ia bolos dan setelahnya, ia jadi semakin aneh.

Sekarang Helen terdiam. Sementara Michelle masih memandangnya bingung. Apa yang sebenarnya terjadi pada Helen?!

"Gue...," ia menggantung kalimatnya. Tampak ragu untuk mengatakan hal ini. Padahal hanya beberapa kata, tapi susahnya kok minta ampun, "suka sama Nathan, Le."

"Eh?" Michelle membelalakan matanya. "Eh?!" Kali ini otaknya baru singkron. Helen ... Ya Tuhan! Gadis ini kembali pada cinta pertamanya.

"Jangan bilang siapa-siapa!" tegas Helen.

Setelah itu, Michelle menuntut penjelasan atas segala hal yang selama ini terjadi. Tentang gadis itu, kedatangan Erza, kejadian di AGJL, dan segala serba-serbi fantasi yang seharusnya tak terjadi di dunia ini. Semuanya tanpa terkecuali.

***

Lusa sudah UAS. Namun bukannya berpandangan dengan tumpukkan kertas dan buku. Helen malah bertatapan dengan layar laptop. Tangannya dengan cekatan menari di atas keyboard. Padahal pandangnya fokus ke depan. Ia benar-benar gila akan permainan yang bukan main-main ini.

Well, ada gim daring baru yang tengah ia mainkan.

"Yes!" Ia memekik kala pasukkan miliknya berhasil menghancurkan pasukkan lawan. Hatinya benar-benar puas. Sudah lama Helen tak sebahagia ini. Pandangannya kini teralih pada jari-jemarinya yang memerah. Duh~ Ia terlalu bekerja keras.

Bip!

Ponsel yang berada tak jauh dari gapaian tangan gadis itu berbunyi. Sebuah pesan masuk melalui aplikasi chatting. Ada nama yang sangat ia kenal tertera di atasnya. Membuat gadis itu menyunggingkan senyumnya. Orang itu adalah orang yang baru saja ia kalahkan.

Cherish : Ren-chan! Gue kalah arrrrgh! *timpukbatu* #peace

Sunggingannya berubah menjadi gelak tawa. Ia benar-benar puas telah membantai habis pasukkan milik sahabatnya itu. Ya, Nao member KiraStar yang sampai saat ini masih sering bersosialisasi dengan Helen.

Gue jahat banget, ya? Ampuni Ren yang sedikit kejam ini Putri Nao. Send.

Helen masih tak kuasa menahan grlak tawanya. Sampai-sampai mengundang perhatian Ressan dari kamar sebelah. Tuh kan, ia sudah berdiri di pintu.

"Kak, berisik tau nggak," Cowok itu berkata jutek. Tapi diabaikan oleh Helen yang biasanya lebih jutek dari adiknya.

"Udah?" tanya Helen.

Ressan menghela napas, kemudian pergi meninggalkan kakaknya yang kembali tergelak puas saat mendapat stiker berupa anime laki-laki sedang duduk di toilet.

***

Sudah berkali-kali Erza kembali ke Glare Heart. Tentu saja dengan wujud yang sebenarnya, Flash. Memastikan benang-benang merah lain terlepas dari benang utama. Namun, masih ada dua seharusnya tidak ada di sana sebelum tersisa ... dua benang yang saling terikat. Selamanya.

Rasanya menyakitkan apabila ia mengingat salah satu benang yang keberadaannya takkan tergantikan itu. Padahal ia tahu tentang penyebab kerusakan kristalnya yang kian hari kian memburuk. Tetapi ia pura-pura tak tahu akan semua itu.

Ya, beberapa waktu lalu.

"Bahkan, salah satunya benar-benar benang yang terlarang," Flash berkata seraya membersihkan salju yang menumpuk di atas kotak kristal tampat benang itu berada.

***

Lol, maafkan aku karena ada keteledoran di bagian ini. Sekali lagi maaaaaaf, aku malah up chapter yang sama yang ada di chapter 25. Dan baru ngeh pas lagi re-read. Semoga suka >.<

Love Life an Enemy Couple [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang