CHAPTER 5 "KENANGAN MENYAKITKAN"

136 14 33
                                    

"Manda.." gadis itu kembali memanggil nama itu; mengharapkan jawabannya,
"Mandaaa.."
"Amanda, tolong, dengerin aku dulu, Mand."
"..." tidak ada balasan dari kembarannya itu.

Sosok perempuan itu makin lama makin menghilang. Bak kertas tertiup angin.

"Manda tunggu! Jangan tinggalin aku! Jangan tinggalin aku sendirian, Amanda!!"
".."
"Amandaaa!!" teriak gadis itu histeris. Air matanya yang sudah dari tadi ia tahan akhirnya turun juga membasahi pipinya.
"Amanda jangan tinggalin aku.." ucap Tasia sambil menangis.

"Amanda!" teriak gadis itu.
"Mimpi itu lagi? Kenapa mimpi itu harus muncul lagi? Aku kangen kamu Amanda.." ucap Tasia. Mata nya yang sedari tadi sudah sembab karena ia menangis di mimpinya, bertambah sembab lagi, karena ia sangat merindukan saudara kembarnya. Amanda.

Amanda tidak meninggal; tetapi ia pergi meninggalkan Tasia. Terpisah dari saudara kembarnya. Berbeda negara.

"Kapan kita bisa ketemu Amanda? Kamu juga pergi nggak bilang-bilang aku."

***

Tasia dengan malas melangkahkan kakinya untuk masuk ke sekolah. Ruangan kelasnya berada di lantai dua. Karena mimpi itu, ia menjadi malas melakukan semuanya. Amanda yang sangat ia rindukan kembali muncul di memorinya. Ia sudah tidak pernah berkomunikasi dengan Amanda kira-kira setahun lamanya.

'Apakah Amanda tidak merindukanku?' itu yang selalu muncul di benak Tasia.

"Tasia!" teriak gadis itu. Maureen.

"Kok mukanya lemes banget, nih?" tanya nya lagi.

Tasia tidak menjawab. Ia hanya langsung duduk ke tempatnya. Sementara, Maureen dan keempat temannya menatap Tasia heran.

Ethan yang menyadari itu pun langsung bertanya kepada Tasia "Tas, lo kenapa?" tanyanya.

"Gak, gapapa."

'Cewek emang gitu, ya. Ditanyain selalu jawabnya gapapa.' -Ethan.

Pelajaran dilalui Tasia dengan sangat berat. Pasalnya, ia sudah tidak ada nafsu untuk belajar lagi. Pikirannya terpecah. Pertama, ia sangat merindukan Amanda; saudara kembarnya. Kedua, Derren, yang membuat semua ini terjadi, kembali muncul ke hadapan Tasia. Tasia sudah muak memikirkan itu semua.

Bel istirahat pun berbunyi, tandanya setiap murid untuk mengisi perutnya yang lapar.

"Tas, kantin gak?" tanya Ethan.

"Gak, deh. Lagi gak mau makan."

"Diet ya lo?"

"Gak. Udah sih sana pergi sono cepet."

"Kok gue diusir? Yaudah, lah. Gue makan dulu, ya. Laper. Nanti gue beliin lo susu. Buat ganjel perut lo aja. Nanti lo makin kaya tiang."

"Gamau dia nya." ucap Ethan kepada empat teman Tasia yang lainnya.

Tasia pun tidak menjawab perkataan Ethan, melainkan ia hanya menenggelamkan kepalanya ke meja. Sampai-sampai, ia tidak sadar bahwa ada yang duduk di tempat Ethan.

"Tas?" panggilnya.

Tasia pun sedikit terkejut; dilihatnya Devon sudah berada di hadapannya memandang Tasia dengan tatapan bingung.

'Ngapain si Devon?' pikirnya.

"Kenapa, Dev?"

"Lo lagi nggak enak badan? Kok tumben dari tadi diem aja? Biasanya gak bisa diem."

"Nggak papa, kok." ucap Tasia. Dia tidak mau membicarakan itu lagi. Sudah muak. Memikirkannya saja sudah membuat ia pusing, apalagi membicarakannya.

Can I?Where stories live. Discover now