"Ingat Ahrim, Seungcheol hanya mencintaiku. Jadi daripada kau menderita karena sikap cueknya terhadapmu, akan lebih bijak dan lebih baik jika kau menyerah."

Aku terus menatapnya. Kedua tanganku sudah penuh dengan baju milikku. Aku tak akan menyerah. Aku menyayangi Seungcheol dan akan tetap bersama Seungcheol karena ini amanah dari papa Seungcheol. Aku menghela napas, hendak mengatakan sesuatu kepada Junghwa. "Sayangnya aku bukan tipe wanita yang mudah menyerah. Apapun tujuanku, akan aku perjuangkan."

Aku berlalu meninggalkan Junghwa. Membuat gadis itu berdecak dan mulai berteriak. "Awas saja Ahrim, tak akan lama Seungcheol akan meninggalkanmu."

---

Aku menghela napas berat. Saat ini aku berada di sebuah café yang ada di kawasan Myeongdong. Seorang diri. Petang ini café tampak sepi, hanya ada beberapa pengunjung dan pasangan di sana. Aku duduk dengan malas, menatap green tea frapuccino hangat yang mulai mendingin. Duduk di tempat yang selalu aku sukai, di dekat jendela, menatap keadaan petang menjelang malam dengan gemerlap lampu yang menandakan adanya keadaan dan kesenangan disana. Tampaknya aku jadi satu-satunya orang yang bersedih diantara ratusan orang diatas kebahagiaan. Aku jadi satu-satunya pengunjung Myeongdong yang tak merasa bahagia.

Aku menghembuskan napas berat melalui mulutku. Menghembus poni yang sedikit menutupi mataku. "Boleh aku duduk?" kata seseorang yang mengalihkan perhatianku. Kupusatkan pandanganku kepadanya. Menatapnya lekat. Lagi. Terus. Hingga aku menangkap visualisasi lelaki yang meminta ijinku untuk duduk di depanku itu. Sosok lelaki yang aku temui saat di Paris. Bagaimana bisa dia ada di Korea?

"Kau? Tuan Hong Jisoo?" kataku terperangah. Aku berdiri, membungkukkan badanku kepadanya dan memberi hormat. Dia tampak lebih tampan malam ini. Bagaimana bisa kami bertemu lagi?

"Selamat malam, Ahrim. Boleh aku duduk?" Jisoo bertanya sekali lagi. Meminta persetujuanku untuk duduk. Aku tersenyum lalu mempersilahkan dia untuk duduk dengan gestur tanganku. Aku kembali terduduk, menatapnya sambil terheran.

"Bagaimana bisa kau ada disini?" Belum aku bertanya basa-basi, aku langsung menanyakan apa yang sejak tadi ada di pikiranku. Terus berputar mencari ujungnya untuk diluruskan.

Jisoo terkekeh sejenak. Sebelum menjawab pertanyaanku, dia terlihat memesan sebuah minuman untuknya. Wajahnya tampak lenih cerah dibanding saat di Paris. Luka lebamnya sudah pulih kembali. Aku menyesap minumanku sambil menatap jalanan Myeongdong yang mulai ramai oleh anak muda. Para anak muda yang hendak bersenang-senang. Menghilangkan sejenak tugas dan peliknya pendidikan mereka yang menguras tenaga, tak hanya fisik tapi pikiran juga. Mereka tampak senang menggandeng pasangannya. Salah satunya bahkan merangkul pasangannya. Saling berjalan beriringan. Andaikan aku dan Seungcheol seperti itu, oh itu sangat indah. Tapi bagaimana bisa aku berharap yang bahkan sulit untuk aku wujudkan selama Junghwa masih ada?

"Kau tanya apa tadi?" Perkataan Jisoo membuatku kaget dan sontak menatapnya yang sudah duduk mengeluarkan sebuah agenda dan menulis beberapa tulisan di sana.

Aku tersenyum sebelum menjawabnya, "Bagaimana bisa kau ada di Korea?"

Jisoo terkekeh kembali. "Aku memang ada di Korea, saat itu aku hanya bertugas di sana saja untuk mengecek beberapa masalah yang berakhir dengan lebam di wajahku."

"Apa lebam itu sudah sembuh?"

"Seperti yang kau lihat, aku sudah baik-baik saja."

Aku menggut-manggut. Jisoo tampak meletakkan bolpoin yang tadi digunakannya untuk menulis di agenda yang dibawanya. Dia menatapku yang sedang mengetuk-ketuk meja dengan jari telunjukku. Aku gelisah, memang.

"Kau terlihat gelisah? Ada yang bisa kau bagi denganku?"

Aku menatapnya, tersenyum kecut akan perkataannya. Sepertinya aku tak bisa untuk sekedar membagi masalah keluargaku dengan orang yang bahkan baru beberapa hari aku kenal. "Mungkin tidak, aku hanya tidak ingin masalahku diketahui orang lain saja. Terlebih ini masalahku dengan Seungcheol."

"Ahrim, tak perlu kau merasa tak enak. Aku Hong Jisoo, sabahat suamimu selama beberapa tahun. Mungkin aku juga bisa memberi tahumu tentang Seungcheol."

"Benarkah?"

"Untuk apa aku tidak benar?"

"Aku hanya sedikit ragu, karena kita baru mengenal, tapi tak ada salahnya aku juga menuangkan isi hatiku."

"Baiklah aku akan mendengarkanmu."

"Sebelumnya aku ingin bertanya, sejak kapan Seungcheol dan Junghwa menjalin kasih?"

Jisoo tampak berpikir. "Jika sampai saat ini, kurang lebih lima atau enam tahun."

Aku tercengang. Ternyata hubungan mereka cukup lama. Benar saja jika Seungcheol terlihat sangat mencintai Junghwa. "Lalu bagaimana sifat keduanya?"

"Seungcheol termasuk lelaki yang tangguh tapi labil, dia sebenarnya bertanggung jawab atas semua yang dilakukannya tapi dia tak bisa menentukan satu keputusan dengan baik. Dia tidak konsisten dan mudah terpengaruh. Mungkin dia harus didampingi oleh orang yang tepat untuk itu."

"Lalu Junghwa?" Aku semakin tertarik untuk bertanya lebih dalam tentang Junghwa dan Seungcheol. Mengetahui bagaimana sifat dan sikap mereka.

"Gadis itu──" Jisoo terhenti sambil terkekeh. Minuman yang dipesannya sudah datang. Dia menyesap sedikit demi sedikit kopi panas yang dipesannya. Dia menatapku. "Dia licik. Sebenarnya dia baik jika dia mendapatkan perlakuan yang menurutnya nyaman. Tapi dia bukan orang yang tepat untuk Seungcheol."

Aku mengerut kan kening, kedua alisku hampir saja menyatu. Aku heran dengan perkataan Jisoo mengenai Junghwa. "Tapi, mereka berpacaran cukup lama bukan?"

"Entahlah, aku juga tidak tahu Seungcheol betah dengan Junghwa yang terlampau manja dan egois. Memang cinta itu buta."

"Tapi Seungcheol terlihat sangat mencintai Junghwa," kataku menyesap minumanku yang sukses dingin dan tersisa setengah.

"Karena Junghwa cinta pertama Seungcheol." Ini menjadi puncak kekagetanku. Aku sukses membuka lebar mulutku dan memelototkan mataku. Jisoo terkekeh. "Kau ini istrinya tapi tak tahu sejarah hidup Seungcheol?"

"Aku bahkan baru mengenalnya setelah menikah ini."

"Beginilah efeknya jika dijodohkan dengan orang yang belum dikenal. Bahkan kau terkesan takut untuk bertanya?"

"Benar." Aku menganggukan kepalaku beberapa kali. Pertanyaannya memang sangat benar.

"Mereka sempat merencanakan pernikahan tapi gagal karena mendiang Tuan Choi dan Nyonya Choi tidak merestuinya, mengingat Junghwa adalah model yang seksi."

Aku manggut-manggut. "Lalu apa yang dilakukan Seungcheol jika mereka tidak disetujui?"

"Seungcheol sempat kabur ke rumah Junghwa selama beberapa hari. Mereka bahkan bertunangan secara diam-diam, mereka tetap bersikukuh dengan hubungan mereka hingga kedua orang tua Seungcheol tak lagi peduli. Gaya pacaran mereka terlalu bebas, karena Junghwa juga gadis yang bebas."

"Maksudmu?"

"Aku tahu masalah Junghwa hamil dan kembali ke Seungcheol. Aku harap kau bersabar."

Soft Of VoiceWhere stories live. Discover now