NINE

1.5K 171 22
                                    

Aku terbangun ketika suara ponselku berdering. Menerimanya dengan berat hati, aku mengumpat ketika melihat jam yang masih menunjukkan pukul dua lebih tiga puluh satu menit, terlalu pagi untuk menelpon.

"Hallo," kataku dengan suara rendah dan serak. Aku melihat Seungcheol yang tertidur pulas disebelah kiriku. Ya, pertengkaran tadi malam menjadi sangat menyebalkan ketika aku harus menyerah dengan suamiku. Aku dan Seungcheol mandi bersama. Hanya sebatas mandi bersama, Seungcheol tak menyentuhku selain mendekap dan merengkuh tubuhku dibawah pancuran air dan melumat habis bibir tipisku. Meskipun aku tahu Seungcheol berusaha menahan dirinya.

"Ahrim," sapa seseorang diujung sana. Suara yang aku kenal. Aku terbelalak sempurna. Mataku membulat. Bibirku menganga dibalik tangan kiriku yang menutupinya. Bagaimana bisa lelaki ini menghubungiku? Rasanya aku tak ingin menjawabnya, aku terlalu kalut.

"Wonwoo," kataku pelan dan bergetar. Air mataku mengalir tanpa bisa kubendung. Aku terisak dalam diamku. Wonwoo terkekeh diujung sana.

"Jangan menangis, Sayang," katanya. Ini membuatku semakin kalut. Kata 'sayang' yang keluar dari mulutnya membuat hatiku teriris. Bagaikan luka yang disiram air garam. Bagaikan kaca yang pecah oleh getaran. Aku terlalu lemah.

"Bagaimana pernikahanmu? Lancar bukan?" tanyanya. Hal ini semakin membuatku sakit, entah hati dan pikiran serta mentalku. Lelaki yang aku cintai menanyakan pernikahanku dengan lelaki lain? Aku sangat sial bukan? Aku merasa seakan diriku saat ini hanya bayangan, hanya rasa sakit berlapis yang aku rasakan.

Aku menggeleng diantara isakan heningku, seolah berharap Wonwoo melihatnya lalu merengkuhku saat ini juga. Meskipun aku tahu pernikahan tadi sangat lancar, namun hatiku berhenti untuk sekejap. Aku melirik Seungcheol lagi, dia masih tertidur pulas. Aku turun dari ranjang perlahan, tak ada suara. Aku masuk ke kamar mandi dan duduk di toilet duduk yang tertutup. "Aku merindukanmu, Wonwoo," kataku pelan diantara isakanku.

"Jangan beitu, kau bukan milikku lagi sekarang," kata Wonwoo bijak. Ini semakin dan semakin membuatku terpuruk. Bagaimanapun juga aku adalah milik Wonwoo, bukan yang lain.

"Tidak ..." kataku terisak semakin keras. Wonwoo berusaha menenangkanku meskipun aku tak berhenti juga. "Aku ... Aku tak bisa hidup tanpamu Wonwoo," kataku pelan. Aku takut jika Seungcheol mendengarkan percakapan via telepon dengan (mantan) kekasihku ini.

"Meskipun aku tahu aku juga tak bisa hidup tanpamu, kita bisa bersahabat Ahrim," katanya dengan nada rendah. Aku semakin terisak pelan.

"Kembalilah Wonwoo ... Kembalilah ..." kataku bergetar. Aku tak kuasa menahan tangis ini.

"Aku tak bisa kembali sekarang."

"Kenapa?"

"Aku baru memulai pendidikanku. Apakah kau tak ingin aku mendapatkan gelar master?"

"Tentu saja aku ingin, aku bahagia jika kau bahagia."

"Ahrim," kata Wonwoo pelan. Aku semakin kalut. Sudah berada ditingkat terendahku. "Sudah dulu ya, dosenku akan segera masuk kelas. Aku tahu disana dini hari, kan? Maaf ya aku membangunkan tidur nyenyakmu," katanya lagi.

Aku tak bereaksi apapun selain terus menangis semakin dalam. "Iya," kataku pada akhirnya.

"Aku mencintaimu, Ahrim," kata Wonwoo pelan, aku bisa mendengarnya dengan jelas, sangat jelas. Sambungan terputus. Aku belum sempat mengutarakan isi hatiku padanya. Percakapan via telepon yang sangat singkat ini membuatku semakin menyesal akan pernikahan ini.

"Aku juga mencintaimu, Wonwoo," kataku pelan tak bersuara. Tangisku semakin menjadi. Aku mengangkat kedua kakiku keatas toilet. Memeluknya dengan erat. Aku ingin memeluk Wonwoo, aku ingin memeluknya. Aku histeris, aku tak peduli bagaimana Seungcheol nanti akan terbangun lalu mendobrak pintu kamar mandi kemudian memakiku. Aku tak memperdulikannya sama sekali. Aku hanya ingin menangis. Menangis sepanjang waktu aku bisa menangisi Wonwooku.

Soft Of VoiceWhere stories live. Discover now