SIX

1.5K 179 21
                                    

"Benarkah semua ini?" pekik salah seorang teman lelakiku. Dia duduk diseberangku bersama seorang gadis yang tak lain adalah kekasihnya. Sebenarnya dia adalah teman dekat Wonwoo, kekasihnya adalah temanku semasa duduk di tinggat sekolah dasar. Kim Mingyu. Lelaki jangkung dengan tinggi seratus delapan puluh tiga sentimeter itu menggandeng erat tangan kekasihnya, Seo Young Ra.

"Kau tidak sedang bercanda kan, Ahrim?" kata Seora──panggilan akrab Seo Young Ra──memajukan badannya padaku, berusaha mengamatiku. Aku menunduk, hatiku kembali sakit.

"Aku tidak bohong, aku putus dari Wonwoo sebelum dia pergi ke Eropa," kataku menatap keduanya nanar. "Aku kemari hanya untuk memberikan undangan pernikahan ku dua hari lagi," lanjutku sembari menyerahkan sebuah undangan mewah dengan warna silver kesukaanku. Nyonya Song tahu apa yang aku inginkan. Mingyu dan Seora saling mengamati. Melihat tajam kearahku setelahnya, berusaha mengorek-orek segala yang tak mereka tahu. Aku menunduk diantara tatapan mereka. Sungguh aku merasa bersalah atas semua ini, mereka selalu mendukungku dengan Wonwoo apapun itu.

"Aku tidak pernah menyangka kau setega itu, Ahrim," kata Mingyu. Aku sudah menduga akan seperti ini jadinya. "Pasti Wonwoo sakit hati sampai akhirnya dia pergi ke Eropa," lanjut Mingyu setelah menghela nafas berat. Ingin rasanya aku menjelaskan semuanya sejelas mungkin.

"Sayang, tunggu dulu──" kata Seora halus. Gadis ini selalu saja bersikap halus meskipun aku salah. Dia akan meminta penjelasan dengan apa yang aku lakukan. Dia akan berusaha menjadi penengah jika ada masalah seperti ini. Aku terus menunduk. Aku malu sekali dengan Seora dan Mingyu. Seora menatapku dan tersenyum seperti bidadari. "Kau bisa jelaskan bagaimana in bisa terjadi, Ahrim?" katanya membelai halus lenganku yang terbungkus cardigan warna hijau tosca.

Aku menghela nafas sebelum mulai menjelaskan semuanya. Nafasku terasa sangat berat. Beban sepertinya semakin berat pula. Aku memberanikan diri mengangkat kepalaku untuk menghadap Mingyu dan Seora, meskipun dengan tatapan nanar yang sangat memalukan. "Tapi kumohon jangan marah lagi," kataku berat. Bergetar.

Seora tersenyum lembut, berusaha membuatku tenang atas semuanya. Mingyu masih cemberut. "Kita dijodohkan, papa Seungcheol meninggal karena menyelamatkan papa dari kecelakaan dan papa Seungcheol menyerahkan Seungcheol kepadaku," kataku terhenti. Melihat wajah Mingyu yang ternganga. Namun tidak untuk Seora, wajahnya terlihat tenang. Dia pasti tahu apa yang aku lakukan pasti ada alasannya.

Aku melanjutkan ceritaku dengan sangat jelas tanpa ada yang ditutupi. Berusaha membuat dua sahabatku itu mengerti. Hingga pada akhirnya Mingyu paham dan berusaha menerima bahwa sahabatnya, Wonwoo, harus berpisah dariku.

Aku mohon undur diri, kembali untuk membagikan undanganku kepada beberapa sahabatku yang lain, meskipun aku tahu tatapan Mingyu dan Seora yang terlihat tak ikhlas. Seungcheol telah menungguku dimobil Range Rover miliknya. Dengan kacamata hitam dan jaket parasut warna abu-abunya.

"Lama," katanya singkat, membuatku terpaku tak bisa berkata apapun. Suasana hatiku sedang tidak enak (lagi). Ditambah Seungcheol yang memiliki wajah datar sore ini. Aku ingin pulang rasanya.

"Aku lelah Seungcheol, antar aku ke apartemen saja," kataku pelan pada Seungcheol, aku fokus pada jalanan ramai Seoul.

"Kamu pulang? Gimana undangan temen-temen kamu?" kata Seungcheol menunjuk sebuah paper bag yang ada di kursi penumpang belakang, terdapat satu paper bag warna coklat disana. Hanya tinggal beberapa undangan.

Aku menghela nafas kasar sebelum mulai berbicara. "Antar aku ke apartemen di Incheon, aku akan menitipkan undangan ini pada temanku untuk dibagikan," kataku masih fokus pada jalanan yang ramai. Seungcheol memasang wajah aneh dibalik kacamata hitamnya.

Soft Of VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang