13- Unlocked

7.4K 527 54
                                    

Untuk yang begitu mengerti apa itu arti sabar menanti,

Terima kasih sekali.

Dolly lagi-lagi harus mendapati dirinya terbaring tak berdaya di ruang ICU. Namun entah kenapa perasaan sakit itu ini berbeda. Dada Dolly memang tertembak peluru, tapi bukan karena rasa sakit akibat benda mematikan itu yang kini membuatnya wajahnya basah oleh air mata.

Namun karena begitu banyaknya kenangan menyerbu ingatannya. Dolly mengingat semua. Dimana dia dilahirkan, Dolly kecil yag berlarian dengan begitu riang bersama teman-temannya, ayah yang senantiasa mengajaknya tertawa, dan peristiwa itu. Peristiwa menyakitkan yang menghilangkan kenangan serta suaranya. Bahkan Mars dan Martini.

Dolly menangis kembali. Kali ini dia menangis untuk Tuhan yang memberikannya kehidupan yang menggelikan. menangis untuk dirinya yang amat menyedihkan. Sudah begitu lama kenangan indah itu menghilang, dan yang tersisa adalah kenangan buruk bersama ibu yang terpaksa merawatnya. Memaksanya menjadi seperti dirinya. Dolly ingat semuanya. Bahkan suara sang ayah berteriak memanggil-manggil namanya bersamaan dengan sosoknya yang hilang terbawa arus sungai.

Dolly ingat semuanya dan karenanya dia menangis. Tapi membingungkan sebanyak apapun airmatanya keluar, tidak ada satu suara pun terdengar. Dolly memegangi lehernya. Bersyukur bahwa tidak ada suara isak tangis di sana. Hanya napasnya yang tersengal dan dadanya yang berat menandakan bahwa Dolly tengah menangis hebat. Rasa sakit yang lain karena peluru yang menembus dadanya juga tak kalah menyengat. Cukup banyak alasan untuk semua airmatanya yang selama ini hilang. Seperti sungai yang kering dan diterpa serbuan air dari hilir. Namun rasanya pasti memalukan bila ketahuan menangis seperti anak kecil.

Malu?

Dolly mengusap wajahnya dengan terburu-buru. Tidak peduli dengan selang infus yang terpasang di lengannya. Lihat, bahkan kini dia tahu malu? Dolly tercenung. Dia baru menyadarinya. Pandangannya yang memburam tentang sekitarnya, tiba-tiba tampak begitu jelas dan nyata. Seolah ada seember air dingin menyiram kepalanya yang dungu. Bahkan ketika dia melamun menatap dinding rumah sakit yang putih polos, dengan tatapan matanya yang redup bagai robot, namun tampak lebih hidup dari biasanya. Otaknya yang kecil dia paksa berpikir. Apapun. Tentang masa lalu atau tentang kehidupan dia kini. Meski pun karena tindakannya untuk membuat kepalanya berpikir lebih keras itu menimbulkan bulir-bulir keringat di dahinya. Dan ketika rasa sakit menghantam kepalanya, Dolly memekik seolah tercekik. Dia terengah. Menyerah untuk berpikir lebih jauh. Dolly mengangkat tangannya. Namun hanya tangan kirinya yang tampak oleh matanya. Dia menoleh ke sebelah kanan dimana seharusnya ada tangannya yang lain. Tapi tidak apa-apa di sana. Dia tersentak ketika teringat bahwa tangan kanannya sudah lenyap.

Setelah itu Dolly baru bisa menangisi tangannya yang hilang dengan benar.

*****************

"Pasien sudah sadar."

Cukup satu info dari salah satu anak buahnya Mars mempercepat makan siangnya di salah satu sudut restoran yang jaraknya hanya sekitar beberapa kilo meter dari rumah sakit. Samuel bertindak sigap terlebih dahulu dengan memberikan Mars serbet sementara dia sudah berdiri untuk siap mengawali Mars.

"Urus tagihannya," Mars memerintah salah seorang bodyguardnya sambil lalu. Samuel memperjelas perintah itu dengan tatapan dan anggukan tegas kepada salah satu anak buahnya. Langkahnya sedikit dipercepat mengingat Mars sudah lebih dulu melesat ke area parkir.

"Apa kita sudah bisa membawanya pulang?" tedengnya langsung kepada Samuel begitu mereka memasuki mobil. Supir langsung melajukan mobil begitu Samuel menepuk pundaknya dari kursi penumpang. Setelah merapikan duduknya agar lebih nyaman, Samuel baru menghadapi tatapan tak sabaran yang dilemparkan Mars.

The PrisonerWhere stories live. Discover now