Bagian 1

13.3K 1.2K 43
                                    

Jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Sejak jam enam pagi tadi, telepon Alya sudah berdering lebih dari enam kali. Alya menggerutu kesal. Setiap kali dia berniat kembali memejamkan matanya, dering teleponnya kembali berbunyi. Kali ini, teleponnya kembali berdering lagi untuk kesekian kalinya. Alya tidak tahan. Dia membuang bantal yang menutupi wajahnya dan menjerit kesal. Dia menyambar hp birunya di atas nakas. Sebaris nama yang sangat dia kenal terpampang nyata. Alya mendesah. Dia akhirnya mengangkat telepon itu.

"Astaga! Ini masih jam tujuh pagi! Aku mau tidur!"

"Masih? Hei, ini sudah siang! Kamu harus cepat-cepat ke bandara."

"Aku berangkat jam 11 siang, Aldo. Semua barangku udah siap. Aku baru tidur habis subuh gara-gara harus mengurus semuanya. Sekarang aku mau tidur lagi. Jadi jangan ganggu aku!"

Terdengar suara desahan dari sana.

"Oke, oke. Telepon aku kalau kamu sudah mau berangkat."

"Iya. Dah!"

Alya langsung mematikan sambungan teleponnya. Dalam hitungan ketiga, dia sudah kembali terjatuh di kasur. Terbang ke alam mimpi bertemu seseorang yang hanya bisa ia jumpai di alam mimpi.

***

Lupakan soal Alya yang masih mengenakan seragam putih abu-abu. Lupakan soal Alya yang menggunakan seragam pelayan toko kue. Tapi jangan pernah lupakan kisahnya saat itu. Saat umurnya masih enam belas dengan bed seragam kelas dua SMA. Hari-hari terpenting dalam hidupnya.

Gadis remaja itu kini menjelma menjadi gadis dewasa yang cantik dan manis. Garis wajahnya menegaskan bahwa dia adalah salah satu pelajaran teladan yang dimiliki Indonesia di luar negeri. Setelah lulus SMA, dibantu dengan Aldo, dia berhasil melanjutkan kuliah di Singapura dengan beasiswa. Sekarang umurnya dua puluh dua. Dan dia sudah lulus dari salah satu universitas terbaik di Singapura dengan gelar di bidang manajemen.

Tahun ini, dia berniat pulang ke Indonesia. Bukan hanya sekedar satu atau dua hari, tapi dia berniat untuk menghabiskan waktu di Indonesia. Dia rindu dengan segala hal yang ada di Indonesia. Biasanya dia pulang ke Indonesia hanya satu atau dua hari. Paling lama juga hanya tiga hari. Dia bertemu Aldo dan mereka biasanya jalan-jalan ke suatu tempat. Walau sebenarnya bukan hanya itu untuk dia mampir ke Indonesia. Mungkin saat dia pulang, dia bisa bertemu dengan seseorang. Seseorang yang sampai sekarang tidak pernah muncul dan terdengar kabarnya.

Nanda.

Alya mematut dirinya di depan cermin. Dia mengenakan kaos putih polos dengan rok midi lebar semata kaki. Dia memoleskan bedak tipis dan liptint di bibirbya. Rambut hitam sepuggungnya dikuncir kuda. Terlihat cantik tapi sederhana. Sesuatu yang membuat gadis dewasa itu terlihat anggun adalah kalung berbandul gembok yang menggantung di lehernya. Kalung yang tidak pernah dia lepas. Dia tahu di tangan mana kunci gembok itu sebenarnya berada. Yang dia tidak tahu adalah sosok yang memegang kunci itu.

Jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Alya sudah siap. Dia menatap kamar apartemennya sekali lagi. Memastikan semuanya sudah rapi dan tidak ada tertinggal. Setelah dia yakin, Alya menggeret koper hitamnya. Keluar dari kamar. Dia tersenyum cerah. Hari ini adalah hari yang paling dia tunggu.

Indonesia, Aku datang!

***

Jakarta terlihat lebih baik dibanding terkahir kali Alya datang. Begitulah yang ada di benak Alya. Hal buruk yang dia dapatkan adalah pesan dari Aldo yang baru di baca ketika mendarat di bandara Soekarno-Hatta.

Alya maaf, aku enggak bisa jemput. Aku ada seminar dadakan dan wajib ikut. Kamu naik taksi aja ya, ke tempat kuliahku dulu. Aku selesai sekitar jam setengah empat. Nanti kuantar ke tempat yang kamu mau.

Begitulah isi pesan singkat Aldo. Alya menghela nafas panjang. Kalau begini, tidak ada cara lain selain merogoh kantong. Dia harus naik taksi. Untungnya tempat kuliah Aldo tidak terlalu jauh.

Alya sampai di tempat kuliah Aldo sekitar pukul setengah empat, tepat dengan selesai seminar yang diikuti Aldo. Ngomong-ngomong soal kuliah, jangan heran kenapa Aldo sampai sekarang masih kuliah. Cowok itu sama sekali enggak serius soal skripsinya. Meskipun Alya sudah berulang kali mengingatkannya dan bahkan sudah menawarkan bantuan, Aldo menolaknya.

Alya memperhatikan mahasiswi yang lalu lalang. Dia senyum-senyum sendiri. Ingatannya kembali saat dia masih berjalan di depan kampus pula. Bersama teman-temannya di Singapura. Tertawa, mengeluh karena banyak tugas, dan lain sebagainya. Tak terasa sekarang akhirnya mereka jadi sibuk dengan urusan masing-masing.

"Alya!"

Seseorang memanggilnya. Alya menoleh. Seorang lelaki dengan kaos hitam dan celana jeans berlari ke arahnya sambil melambaikan tangan. Satu-satunya orang yang selalu terhubung dengan Alya selama gadis itu di Singapura. Sahabat lamanya. Sahabatnya setianya. Dan tentu saja, hanya tetap menjadi sahabatnya. Aldo.

"Sudah lama?" tanya Aldo.

Alya menggeleng. "Aku baru sampai juga kok."

Aldo mengangguk-anggukan kepala. Pandangannya beralih ke kalung berbandul gembok di leher Alya. Dia tahu kalung itu dari siapa. Setiap kali Aldo melihat kalung itu, rasanya dia ingin menariknya dan membuangnya jauh-jauh. Dia yakin Alya tidak pernah lupa dengan orang itu. Orang yang sudah menghilang enam tahun. Yang membuat Aldo sangat susah untuk membuka hati Alya untuknya.

"Kamu ada seminar apa?" tanya Alya membuyarkan lamunan Aldo.

"Enggak tau deh. Intinya semangat menyelesaikan skripsi gitu. Aku bosen di sana, jadi aku tidur. Kamu harus tahu ya, pembicaranya aja pakai kacamata hitam,"

Alya tertawa mendengar gerutuan Aldo.

"Makanya cepetan selesain skripsi tuh! Enggak kelar-kelar tahu rasa!"

Aldo menghela nafas panjang. "Iya, iya, Nona. Udah Bab 1 kok."

Alya mendelik. "Udah? Itu masih, Aldo! Kamu lulus kapan entar kalau sikapmu santai-santai gini?"

Aldo mengedikkan bahu. "Tahu deh. Eh, eh, lihat! Itu pembicaranya," kata Aldo sambil menunjung dengan ujung dagu.

Alya menoleh. Tidak jauh darinya, dia melihat seorang lelaki memakai kemeja putih dan celana hitam panjang di apit oleh dua orang berbadan besar. Lelaki itu memang memakai kaca mata hitam. Di lihat dari perawakannya, lelaki itu terlihat masih muda.

"Dia muda ya?"

"Iya. Orang-orang manggilnya Tuan Yan. Dia punya perusahaan besar di Indonesia, cabang dari perusahaan ayahnya di Singapura. Percaya atau enggak, umurnya masih 22 tahun."

Alya mendelik kaget. "Apa?! Mudah banget."

Aldo mengangguk. Alya menatap lelaki berkemeja putih itu. Lelaki itu memang terlihat berwibawa. Lelaki itu berhenti di salah satu anak tangga. Dari tempat Alya berdiri, dia bisa melihat wajah samping lelaki itu. Alya bisa melihat mata di balik kaca mata hitamnya dengan sangat jelas. Alya berkerut.

Wajah itu...

Wajah samping lelaki itu...

Alya merasa familer.

Lelaki itu menoleh ke arahnya.

Deg!

Jantung Alya langsung berdetak kencang. Berdetak kencang dengan alasan yang sudah lama tidak pernah terjadi. Alasan yang sama seperti enam tahun lalu.

Lelaki itu...

Sungguh, mirip dengan Nanda.

-----

Jangan lupa vote dan komennya :)

[2/2] KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang