Prolog

35.2K 2.2K 111
                                    



Takdir adalah ketika kita sadar, dari sekian miliar manusia di dunia, kitalah yang terpilih menjalani skenario kehidupan yang sedang kita jalani.

Kenapa kita lahir sebagaimana kita terlahir. Kenapa mata kita biru, hijau, atau hitam. Kenapa kamu terlahir melihat dunia dari perspektif yang berbeda dari sekian banyak manusia yang beramai-ramai melihat dari kacamata yang sama. Kenapa aku tinggal dengan keluarga yang begitu menyayangiku, padahal aku sendiri tidak tahu bagian mana dari diriku yang pantas dicintai sebesar itu.

Nasib baik adalah ketika kita tersenyum puas saat sesuatu yang indah terjadi, ketika kita tengah berada di tempat yang tepat. Sebab jika tidak, bisa saja hal itu terjadi pada orang lain. Sementara itu, nasib buruk biasanya ditandai dengan harapan bahwa pada tempat dan pada satu saat, ada orang lain yang berdiri di sana, menggantikan tempat kita.

Saat kita menyadari bahwa kita tengah mendapati nasib buruk, mungkin semuanya berarti sudah terlambat. Satu keberuntungan mungkin terlewat, satu kesempatan mungkin terbuang, satu cinta mungkin tertinggal di belakang.

Namun, untuk yang satu ini... aku tak ingin terlambat.

Tidak akan kubiarkan apa pun menghalangiku menuju tempat seharusnya aku mendapatkan nasib baik.

Di sisimu.

***

Hidupku hancur pada saat seharusnya kisah berakhir bahagia.

Sudah berapa lama aku menyia-nyiakan waktu seperti ini? Mungkin sebulan. Mungkin dua bulan. Entahlah. Menjadi pengangguran yang putus harapan membuatku lupa hari. Malamku seperti siang. Siangku kadang seperti malam. Yang jelas, aku sudah lama tidak bertemu pagi hari. Sesuatu yang membuatku terjaga biasanya hanya dering telepon.

"Dek, kamu yakin nggak mau jual rumah pemberian Raksa? Mama lama-lama bisa gila mikirin kamu kalau gini caranya!"

Aku mengerjap. Seketika, rasa sakit menyerang bagian belakang kepala. Aku langsung sadar bahwa cuma Mama yang mencerocos tanpa basa-basi begitu telepon diangkat. Kutahan caci maki menyelonong dari bibir. Kepalaku masih pening luar biasa setelah menghabiskan es krim dan bergelas-gelas anggur sendirian semalam.

Oh, astaga. Sudah pukul tiga sore. Perlahan, dengan ponsel terjepit di antara bahu dan telinga, aku beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi.

"Dek," panggil Mama pelan. Suaranya terdengar memelas, membuatku merasa seperti anak malang yang layak dikasihani.

"Aku baik-baik aja, Mam," potongku sambil memijat pelipis.

Aku tahu Mama jauh dari yakin dengan ucapanku barusan. Susah sekali rasanya untuk bilang kepadanya kalau aku masih butuh waktu mengasingkan diri. Masalahnya, aku sudah lumayan lama berkubang dalam penderitaan. Sampai-sampai aku sendiri ragu, apa aku sungguh-sungguh menderita, atau malah mulai nyaman dengan penderitaanku.

"Mama mau kamu balik lagi kayak dulu. Mama tahu ini sulit, tapi kita pasti bisa kalau kita melaluinya bersama-sama."

"Aku nggak mau jual rumah ini, Mam. Kalau jadi duit, paling juga aku habisin."

"Kalau nggak mau dijual juga nggak apa-apa. Paling nggak, Mama mau kamu balik ke rumah biar Mama bisa ngawasin kamu."

"Oke," ucapku sembari mengoles permukaan sikat gigi dengan pasta. Berkumur.

"Pulang, ya?"

Mulai menyikat gigi, "Hmm?"

"Pulang, ya?"

Kubiarkan Mama menunggu sampai aku selesai menyikat gigi. Sesudahnya, dengan sengaja aku tidak buru-buru bicara dan malah mengencangkan aliran air keran. Wajahku kelihatan sepuluh tahun lebih tua, dengan kantong dan lingkar hitam di bawah mata. Hanya dengan melihat pantulan diriku di cermin, aku seperti cewek yang siap bunuh diri kapan saja. Malangnya, aku bahkan tidak punya nyali untuk bunuh diri.

Sebaliknya, aku bertekad untuk bersenang-senang demi melupakan rasa malu, tetapi sayang... tidak segera kulakukan.

Okelah. Aku harus menghadapi semua ini.

"Dek... please... Mama cemas mikirin kamu. Kamu nggak kasihan apa sama Mama?"

"Mama nggak kasihan apa sama aku?"

"Ya Mama kasihan, tapi mau sampai kapan? Ayo, dong. Kamu nggak mungkin kayak gini terus-terusan, kan? Orang-orang udah lupa sama kejadian itu, Dek."

Lupa? Mana mungkin?

Semua orang masih menatapku dengan pandangan mengasihani setiap kali aku keluar rumah. Dan aku tahu itu bukan perasaanku saja. Aku masih suka malas menerima telepon karena semua temanku masih bicara dengan nada sangat hati-hati, seakan-akan aku bakal tersinggung kalau mereka bicara sedikit keras. Aku sendiri, kalau hal ini terjadi kepada orang lain, tidak akan mungkin bisa lupa. Sampai kapan pun, cerita memalukan itu akan mereka ceritakan kepada anak cucu setiap kali melihat atau mengingat wajahku.

"Aku bakal pulang kalau aku sudah siap," pungkasku akhirnya.

"Kalau kamu masih nggak pulang-pulang juga, nanti Mama jemput kamu. Mama udah coba sabar, Keke. Mau sampai kapan kamu sia-siain hidup kayak gini? Kamu udah terima semua kompensasi yang kamu minta dari Raksa, pakailah buat senang-senang, atau apa gitu. Daripada kamu ngabisin waktu mengasingkan diri kayak gini. Kamu tahu nggak, sikap tertutup kamu ini justru bikin semua orang nggak berhenti ngomongin kamu!"

Aku mematung. Kalau Mama pikir aku akan tersentuh dengan syok terapinya, dia salah. Aku sudah mendengar hal semacam itu ribuan kali dari beberapa teman yang peduli dengan keadaanku. Sekarang ini, kepalaku malah sedang asyik memikirkan bagaimana caranya supaya kembali mendapatkan daerah bawah mata seperti dulu. Operasi plastik kayaknya seru.






Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang