- 14 -

10.4K 798 8
                                    

Lanjuuuuuut...

"Kamu sudah siap, Hon?" tanya Genta setelah membukakan pintu mobil di samping bangku kemudi. Ya... ini sudah seminggu dan Genta akan menepati janjinya untuk mempertemukanku dengan adik tersayangnya itu.

"Sebelum ke rumah adikmu, bisakah kita mampir sebentar? Aku ingin menjenguk seseorang," pintaku membuatnya tak jadi menyalakan mesin mobil.

"Siapa?" tanya Genta penasaran.

"Kerabatku. Aku tidak pernah mengunjunginya, dan aku dengar beliau sedang sakit. Bisakah kamu mengantarku ke rumah sakit tempatnya dirawat?"

"Apapun untuk Cintaku..." senyum Genta mengembang. Maaf aku membohongimu.

*

"Dimana kerabatmu dirawat?" tanya Genta setelah kami sampai di parkiran rumah sakit.

"Ruang VIP." Aku lihat wajah Genta sedikit menegang. Apa mungkin dia tahu bahwa ibu kandungnya sedang dirawat di sini?

"Lantai berapa dan kamar nomor berapa?" Aku tahu dia semakin ragu dengan pertanyaannya.

"Entahlah! Aku belum pernah menemuinya. Biar aku hubungi kerabat yang lain," ucapku sambil memegang ponsel dan berpura-pura meminta kerabat lain untuk memberitahukan keberadaannya.

Aku sudah tahu dari Mommy. Bahkan Mommy sempat mengajakku kemarin ke rumah sakit ini, tanpa Genta tahu. Aku terkejut saat melihatnya. Benar-benar jiplakan Mommy. Semuanya mirip. Hanya saja wanita yang sedang berbaring saat itu terlihat lebih kurus dan pucat. Tapi aku yakin dia wanita yang bahagia, karena dikelilingi orang-orang yang mencintainya.

Mommy memperkenalkanku pada Om Anthony, suami adiknya yang sedang dirawat dan ketiga anaknya saat itu. Sepertinya mereka sudah tahu tentang siapa Genta. Walaupun jarak usia mereka jauh berbeda. Yang pertama, seorang laki-laki berusia 20 tahun. Sedang melanjutkan study di London, dan terpaksa kembali karena Tante Dania sedang sakit. Yang kedua juga lelaki. Usianya baru 16 tahun. Masih SMA. Mereka berdua benar-benar tampan. Mirip sekali seperti Om Anthony versi muda. Dan yang terakhir, perempuan lucu yang masih kelas 6 SD. Kalau dia, aku sungguh melihat cetakan Mommy dan tante Dania yang memang benar-benar mirip. Rasanya bahagia berada di sekeliling mereka. Mereka membawa kebahagiaan pada siapapun yang melihatnya. Dan sedikitpun tak ada raut kesedihan di wajah mereka. Aku tahu mereka sebenarnya sedang menutupi kesedihan itu demi si Kecil yang terus menangis setiap melihat ibunya.

"Dimana kamarnya?" tanya Genta tak sabar setelah kami masuk ke dalam lift bersama.

"Ikut saja!" ajakku sedikit kesal. Ada apa dengannya? Dia tidak seperti biasa.

"Kenapa kamu mengajakku ke sini?" tanya Genta tak percaya, setelah kami berada di depan ruang VIP yang aku tuju.

"Kamu tahu ini kamar siapa?" tanyaku menyelidik.

Genta hanya diam tidak menjawab. Aku lihat keraguan di dalam matanya. Tanpa ragu aku memegang tangannya erat. Memberi kekuatan pada dirinya yang penuh kebencian.

"Kamu sendiri yang mengatakan padaku untuk berdamai dengan masa lalu. Bisakah kamu melakukannya? Setidaknya untuk dirimu," bisikku memeluknya erat.

"Tapi..." Dia masih terlihat ragu.

"Kamu tahu kenapa aku selalu menolak lamaranmu?" Genta menggeleng tidak yakin. "Bukan karena lamaran yang tidak romantis, apalagi tidak adanya cincin berlian saat kamu melamarku. Bukan karena itu. Tapi karena kamu masih belum jujur pada perasaanmu." Dia menunduk menyembunyikan wajahnya yang aku tidak tahu berarti apa.

"Kamu tahu tempat ini dan siapa yang ada di dalamnya, membuktikan bahwa kamu sebenarnya peduli dan ingin sekali berada di sana menemani ibumu."

"Tapi dia telah membuangku," suara Genta bergetar. Aku tahu dia sedang menahan tangis.

Couldn't BackWhere stories live. Discover now