-4-

12.2K 904 8
                                    

Aku berjalan mengelilingi kampusku yang akan aku tinggalkan dua minggu lagi. Ini akan segera berakhir. Masaku akan segera berakhir di tempat ini. Tempat yang telah membuatku semakin dewasa untuk berpikir dan bertindak. Ya... Aku sudah melupakan sepenuhnya rasa sakit hatiku. Dikelilingi orang-orang yang memerhatikanku sungguh membuatku lupa akan rasa sakit hati itu. Yang aku ingat saat ini adalah bagaimana caranya agar aku tetap bahagia walau mereka tidak ada lagi di sisiku.

Dua minggu, waktu yang tidak sebentar untuk aku rekam setiap memoriku tentang kebahagiaan. Bersama orang-orang yang aku sayangi dan orang-orang yang menyayangiku, rasanya akan sangat sulit melepas pergi setiap jengkal kenangan. Ingin menetap, tapi tidak bisa. Lebih banyak kenangan yang sudah aku tinggalkan selama hampir dua tahun belakangan. Kenangan yang tersimpan rapih di kotak Pandora dan akan aku buka lagi setelah sesampainya di negeriku. Dan hari ini adalah hari terakhirku bekerja. Akan aku siapkan satu rekaman untuknya. Salah seorang yang membuatku merasa nyaman berada di dekatnya.

"Siang, Genta!" sapaku saat memasuki ruang kerja Genta.

"Hai, Ca!!" sapanya terdengar canggung. Apa mungkin karena ini adalah hari terakhirku bekerja?

"Bagaimana persiapanmu untuk berangkat?" Aku tahu dia hanya berbasa-basi untuk mencairkan suasana di ruangan ini. Ruangan yang bagiku sangat nyaman, tapi terasa menyesakkan. Kenapa aku merasa sesak disaat terakhirku?

"Sudah siap semua," jawabku gugup. "Maaf aku tidak bisa berlama-lama bekerja di sini. Aku sungguh senang bisa bekerja bersamamu, Genta." Kenapa rasanya semakin sesak??

"Dan akupun begitu. Kenapa kamu tidak terima tawaranku untuk bekerja bersama Ben?"

"Kamu sudah tahu, Genta," ucapku memberinya jawaban yang sudah pernah aku jelaskan. Aku tidak ingin meninggalkan kenanganku bersama kedua orang tuaku. Semua memoriku akan selalu ada dan tidak akan pernah aku lepas.

"Ya... Aku mengerti. Tapi bisakah kamu lebih lama lagi tinggal di sini? Aku pasti akan sangat merindukanmu." Genta melangkah mendekatiku. Menarikku masuk ke dalam dekapannya. Dia memelukku.

"Aku juga."

"Tidak bisakah kamu berada di sisiku selamanya?" tanya Genta, lagi.

"Maksudmu?"

"Be mine, please!" Apa ini sebuah pernyataan?

"Gen.. Gen..taa.." Kali ini aku benar-benar gugup.

"Aku menyayangimu, Ca. Aku mencintaimu." Ini benar-benar pernyataan.

"Tapi Genta..."

"Tetaplah di sisiku. Jangan pernah tinggalkan aku!" ucap Genta menatapku untuk meyakinkan aku bahwa setiap katanya bukanlah kebohongan.

"Aku..." lama aku terdiam, dan Gentapun menunggu jawabanku.

"Maaf, Genta! Aku tidak bisa," ucapku menahan perih. Sungguh aku ingin menjawab iya. Tapi aku tidak yakin untuk tetap berada di sini dan meninggalkan semua yang aku miliki di negeriku sendiri.

"Apa kamu tidak mencintaiku, Ca?" tanya Genta.

"Aku juga mencintaimu, Genta." Sejujurnya perasaan itu datang setelah lama aku merasa nyaman bersamanya. Hanya saja aku selalu menyangkalnya. Aku tidak ingin sakit hati, aku takut untuk jatuh cinta lagi. Karena itu, perasaan cinta ini selalu aku tahan, tidak ingin aku keluarkan. Apalagi aku merasa perasaan ini hanyalah sepihak saja.

"Lalu kenapa kamu tidak bisa menerimaku?"

"Aku... aku tidak bisa meninggalkan apa yang telah aku miliki di Indonesia, Genta. Itu semua adalah kenangan yang tersisa dari orang-orang yang aku cintai," jelasku sambil melepaskan tangannya yang masih memeluk pinggangku erat.

Couldn't BackWhere stories live. Discover now