"Honey?" See... pasti dia akan menanyakan itu.

"Hai, Vik!! Silahkan masuk!" pinta Genta seolah dia pemilik rumahnya. "Halo Boy!!! Makin tampan saja. Jangan kalahkan ketampanan Om ya!!" canda Genta kepada Revan yang justru tidak mau kalah. 

"Revan pasti lebih tampan, Om! Kan Revan imut juga. Tante-tante di kantor Daddy juga banyak yang bilang begitu." Aduh anak ini, menggemaskan sekali.

"Kok Pak Genta di sini?" tanya Viko masih tidak percaya. Terlihat dari tatapannya kepada Genta dan sikapnya yang seperti patung.

"Panggil saja Genta. Usiaku tidak setua ayahku yang biasa kamu panggil Bapak. Setiap weekend saya menghabiskan waktu di rumah calon istri." Jawaban Genta enteng sekali. Apa dia sengaja mengatakan itu di depan Viko?

"Bagaimana bisa?" tanya Viko yang kini sudah duduk di sofa bersama Genta, sedangkan Revan duduk di pangkuanku.

"Tante, aku mau es krim ya!" bisik Revan ke telingaku. Dia sudah tahu kalau aku selalu sedia es krim di rumah, aku memang suka sekali es krim. Dan sejak Revan beberapa kali berkunjung ke rumah, aku memiliki musuh dalam menghabiskan es krim.

"Tante Cuma punya satu cup. Nanti kita makan sama-sama ya!! Daddy dan Om Genta jangan dikasih!" bisikku membuat Revan tertawa senang.

"Kami sudah berpacaran sejak kami tinggal di Perth," jawab Genta singkat dan membuatku sukses menahan nafas. Dia pembohong ulung. Kali ini dia memang sengaja mengumumkan hubungan kami di depan Viko. Karena aku tahu sering kali dia cemburu dengan keberadaan Viko yang selalu memberiku perhatian, ditambah hubungan kami yang masih sembunyi-sembunyi.

"Maaf, Genta. Saya tidak tahu. Kenapa kamu tidak memberitahuku, Ca?" tanya Viko kini kepadaku.

"Saya yang memintanya merahasiakan hubungan ini. Tapi karena sebentar lagi kami akan menikah, maka sudah saatnya saya mengumumkan pada yang lain." Bagaimana bisa? Dia memutuskannya sendiri. Kapan dia melamarku? Bisa-bisanya dia berbohong saat orang yang terlibat (yaitu aku) ada di hadapannya.

"Ya kan, Hon?" tanya Genta. Pertanyaan jebakan. Aku tahu itu. Dia selalu mengajakku menikah, tapi selalu aku tolak dengan alasan tidak ada lamaran romantis, ataupun tidak ada cincin berlian. Sebenarnya aku hanya mengulurnya. Karena aku merasa ada sesuatu yang masih belum terselesaikan di sini. Entah apa, aku sendiri tidak tahu.

"Hon!!" panggil Genta memecahkan lamunanku.

"Hmm..."

"Jawab dong?"

"Iya, Vik. Kita berencana untuk menikah," jawabku kemudian.

"Kapan?" tanya Viko penasaran.

"Setelah aku melamarnya di hadapan kakeknya. Mungkin minggu ini." Pembohong ulung 2.

"Kakek? Aku tidak pernah tahu kamu memiliki kakek, Ca?" Bagus Genta! Bongkar saja semua rahasiaku.

"Aku baru menemukannya, Vik. Kerabat dari Ayah. Dia kakekku dan sepupuku, anak dari adik Ayah."

"Lalu di mana mereka?"

"Mr. Ambler sedang dirawat di negaranya, dan Ben kamu tahu sendiri dia selalu mengganggu dimana-mana," jawab Genta santai sambil meneruskan pekerjaannya.

"Maksudmu, kakek dan sepupu Ica adalah keluarga Ambler? Dan gosip kamu yang bertunangan dengan pewaris Ambler itu adalah benar? Karena Ica adalah anggota keluarga Ambler." Mereka berdua sudah seperti wanita saja yang suka bergosip.

"Sejak kapan kamu peduli gosip, Vik?" tawa Genta membuat Viko mau tidak mau ikut tertawa karena dengan bodohnya dia bersikap seperti wanita heboh.

"Ayo Revan!! Kita ke dapur ambil es krim!" ajakku pada Revan yang seolah sejak tadi tidak peduli ucapan orang dewasa di depannya.

Couldn't BackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang