"Iya," jawab Eunike singkat. Wajahnya tertunduk sesaat, kemudian kembali memusatkan lagi pandangannya pada pekerjaan yang sedang dilakukannya.

Weza menarik kursi disebelah Eunike lalu dengan santai menempatkan dirinya di sana. Eunike sempat melirik Weza, mengamati tingkah tidak terduga pria itu. Tidak lama, karena Eunike memilih untuk mengabaikan Weza saja setelahnya.

Weza memperhatikan apa yang sedang dikerjakan Eunike. Perempuan itu sedang meng-input total barang produksi yang siap dijual. Sebenarnya pekerjaan Weza dan Eunike saling berkaitan hanya saja diantara mereka ada pihak quality. Sehingga mereka tidak pernah berhubungan secara langsung. Polanya selalu Weza-quality-Eunike.

Setelah beberapa menit akhirnya Eunike kembali bersuara. Weza kira, wanita itu tidak akan lagi mengeluarkan suara apapun dan menganggapnya tidak ada. Jujur saja Weza sedang menunggu, kapan Eunike menyerah dengan sikap diamnya.

"Kamu memang ga ada kerjaan? Ngapain duduk di sini dan ngawasin aku kerja?" Tanya Eunike dengan nada tidak bersahabat.

Weza mencondongkan tubuhnya, kemudian menatap wajah Eunike yang sama sekali tidak memandangnya.

"Kalau bicara sama orang tuh, liat orangnya." Weza masih menatapi Eunike. Bulu mata Eunike yang bergerak-gerak menarik perhatian Weza. Lalu bibir Eunike yang bergetar seolah menahan kesal juga sudah mampu membuat Weza tersenyum.

"Tolong jangan ganggu aku. Kalau kamu ingin cari kesenangan, kamu salah tempat. Di sini tuh buat kerja." Eunike kembali mengusir Weza secara tidak langsung dengan kata-katanya.

Weza menekan tombol power pada monitor Eunike. Sehingga dalam sedetik berikutnya layar monitor tersebut berubah menjadi gelap. Eunike meradang dengan tingkah Weza. Ia menoleh, menatap Weza dengan kesal.

"Akhirnya lu liat gue juga." Weza menatap mata Eunike yang berkilat marah. Dia tersenyum senang dengan satu lesung pipit andalannya.

"Buat kamu ini lucu ya? Kamu sadar ga sih, kalau sikap kamu ini mengganggu dan merugikan orang lain?" Eunike kembali menekan tombol power monitor miliknya. Tapi begitu tangannya menyingkir, Weza lagi-lagi melakukan hal yang sama.

Eunike langsung memukul tangan Weza. "Pergi sana!" Bentak Eunike.

Weza menarik sebuah senyuman lagi. Berpikir kembali tentang gosip yang dilontarkan para wanita di malam ketika mereka kumpul untuk karaoke. Mereka bilang Eunike tidak bisa marah. Tapi lihat sekarang, wanita itu bahkan sudah berani membentak Weza yang secara struktural berada di atasnya.

"Gak mau," balas Weza dengan kelewat santai.

Eunike mengerutkan keningnya. Ia kemudian bangkit berdiri dan pergi meninggalkan Weza.

Mata Weza mengikuti arah Eunike bergerak. Ia sudah menduga kemana wanita itu akan melarikan diri darinya. Dugaan Weza tidak meleset, Eunike berjalan menuju toilet. Weza mau tidak mau tertawa. Bermain-main dengan Eunike ternyata cukup menyenangkan, mengobati kekesalannya karena harus masuk di hari liburnya.

***

Eunike menatap dirinya di cermin. Poninya sudah basah lantaran membasuh wajahnya sampai tiga kali. Anehnya, rasa kesal pada Weza belum juga mereda.

Kenapa juga ia harus bertemu dengan Weza hari ini? Ia kira, ia bisa lari dari masalah di rumahnya dengan bekerja. Sialnya, ia justru bertemu masalah baru di sini. Weza Yassar Arundaya, seorang pria yang setengah mati dihindarinya.

Sejak awal Eunike bertemu Weza, ia memang sudah memandang pria itu dari sudut yang buruk. Semua wanita di kantor bilang Weza adalah seorang playboy. Meskipun Weza tidak pernah mendekati rekan kerjanya, tetapi gosip tetap berkembang pesat. Terlebih ketika kehidupan orang lain bisa diamati dengan lebih mudah lewat jejaring sosialnya. Semua wanita dikantor bisa melihat berapa banyak mantan Weza dan berapa banyak calon pacarnya. Hal tersebut membuat Eunike memberikan cap jelek untuk Weza.

Eunike tidak suka pria yang menebar harapan palsu macam Weza. Pria yang hanya senang membuat para wanita baper padanya lalu meninggalkannya begitu saja. Sejauh ini, Eunike berhasil menghindarinya. Seharusnya ia masih bisa melanjutkan hidupnya seperti sebelumnya. Setidaknya itu yang Eunike pikirkan ketika akhirnya ia menghapus jejak air di wajahnya dengan tisu.

Eunike kembali melangkahkan kakinya ke kantor. Matanya masih menangkap sosok Weza di kursi samping meja kerjanya. Tanpa terasa Eunike sudah menghela napas. Mungkin ia harus lebih berusaha keras mengusir Weza dari hidupnya.

"Udah selesai kaburnya?" Weza bertanya tepat ketika Eunike duduk di kursinya.

Eunike tidak menghiraukan pertanyaan Weza. Ia kembali bekerja seolah tidak ada mahluk lain di sebelahnya.

"Apa gue harus tekan tombol off monitor komputer lu lagi?" Weza kembali mengajukan pertanyaan.

Masih bergeming, Eunike seolah tidak mendengar apapun. Mata dan telinga Eunike terprogram untuk menganggap Weza tidak ada.

Tangan Weza terulur pada monitor milik Eunike. Akhirnya Eunike menoleh pada Weza dengan mata menyipit tajam.

"Kenapa sih lu mengabaikan keberadaan gue sampai seperti ini?" Weza mengangkat alisnya tinggi.

"Aku?" Eunike membalas pertanyaan Weza dengan nada mencemooh.

"Selama dua tahun kita terbiasa dengan keadaan saling mengabaikan dan cukup bertegur sapa sebagai sopan santun belaka. Sejauh ini kamu gak pernah bertingkah apalagi bertanya seperti ini. Terus kenapa sekarang kamu merasa masalah dengan sikap aku? Apa karena Ayla?"

Weza baru saja ingin menjawabnya, namun tangan Eunike terangkat. Jelas Eunike belum selesai berbicara. Jadi Weza memilih kembali diam.

"Jika kamu bersikap baik sama aku hanya sekedar untuk menarik simpati Ayla. Sesungguhnya kamu ga perlu melakukan hal seperti itu. Aku dan Ayla hanya teman biasa, bukan sahabat. Kamu gak perlu repot-repot baik sama aku." Eunike menarik satu napas pendek.

"Kamu bisa mendekati Novita jika memang ingin membuat Ayla terpesona dengan kebaikan kamu itu. Jadi berhentilah menganggu aku."

Weza tersenyum kecut. "Jadi selama ini, hal seperti itu yang lu pikirkan tentang gue?"

Eunike mengangkat bahunya tidak acuh.

Mata Weza menatap mata Eunike yang selalu enggan melihatnya. Ia masih tetap tidak melepaskan pandangannya dari Eunike meski wanita itu terus menghindar dengan melihat objek lain.

"Ternyata benar, lu memang seperti yang orang lain bicarakan. Gue kira lu berbeda. Tapi ternyata sama aja." Weza bangkit dari kursinya, tanpa banyak bicara lagi, ia langsung meninggalkan Eunike.

Eunike terdiam, memikirkan ucapan Weza. Kenapa juga ia harus memikirkan apa yang Weza katakan? Tidak perlu. Tidak seharusnya ia memikirkan ucapan orang-orang tentangnya. Peduli setan dengan apa pendapat Weza maupun orang lain perihal dirinya. Ia hanya ingin mencari uang untuk hidupnya dan keluarganya. Eunike sudah cukup pusing memikirkan beban yang memang harus ditanggungnya. Ia tidak ingin menambah beban lagi dengan memikirkan Weza.

Tangan Eunike mengepal, ia mengigit bibirnya dengan mata terpejam.

Sabar Nik, sabar. Lupakan semua ucapan Weza.

Without WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang