Pulanglah

747 59 23
                                    

Kabut putih terbawa angin menuruni lereng diam-diam dalam malam. Membawa rintihan pada semua makhluk di bawah. Pepohonan inggang-inggung resah, mencari para tetua di antara mereka yang tak kalah gusar. Keributan terjadi, kabar telah sampai. Hutan di utara di bakar oleh manusia. Lolongan pertolongan mereka tak bisa didiamkan. Mereka meminta tindakan. Peringatan, pembalasan, perubahan sikap dari pemimpin mereka. Para tetua tak bisa menenangkan mereka lagi sekarang. Yang terpilih sudah hadir di antara mereka. Bangunkan dia! Buat dia mengambil keputusan. Mereka semua mendesak ingin mendengar suara penyelamat mereka. Saat itulah Tetua yang tertinggi dan terbesar membuka matanya suaranya menggema meminta mereka semua diam.

Di sisi lain, Idon berusaha bangkit dari mimpi buruknya. Kejadian tewasnya bapak terus terulang dalam mimpinya. Seperti drama dengan akhir yang belum ditentukan. Semua cara dicobanya agar Bapak dan Risa selamat. Mencoba menjadi tameng ketika para penembak menyerang, memperingati bapak sebelum terjadi penembakan, menghentikannya untuk pergi ke kebun, sampai mengunci dirinya dan seluruh keluarga dalam rumah. Namun tetap saja gagal, para penyerang itu mendatangi rumah mereka dan lebih parah; semuanya dibunuh oleh mereka. Cara terakhir yang terpikir olehnya adalah melawan. Dia berusaha merebut senjata mereka dan gagal. Kalaupun berhasil dia tetap akan mati ditembak yang lain. Idon jatuh menangis tak kuat menahan sedih, frustasi, kegagalan. Dia memukul tanah di sebelahnya tubuh Bapak tergeletak terpejam, matanya tajam menatap tanah yang basah oleh air mata. Kebaikannya di sana. Habis dan masuk jauh ke dalam tanah. Yang Idon inginkan sekarang hanyalah balas dendam. Kematian yang sama dan lebih menyakitkan untuk mereka semua yang melakukan ini padanya.

BAKAT

Brasta, Risa, dan Teguh kembali ke pintu terakhir sebelum mereka bisa menuju lift dan keluar dari fasilitas. Sambil menggendong Mata dan Pikiran mereka mendapati semua orang bersandar di dinding tertunduk lesu bahkan menangis bersedu-sedu.

"Apa yang kalian lakukan di sini! Ini jalan keluar kita!" Teguh membentak semua orang, emosinya meledak-ledak.

"Tidak, tidak ada jalan keluar." Salah satu dari mereka menjawab.

"Ada apa dengan kalian semua?!" Teguh tak bisa mengerti orang-orang ini. Berjalan ke pintu keluar.

"Jangan!" teriak salah satu dari mereka.

"Apa yang kalian takutkan?!"

"Mereka menunggu kita di luar. Mereka akan membunuh kita jika keluar."

Teguh berbalik menatap Brasta dan melemparkan Pikiran padanya. Reflek Brasta menangkapnya. Melihat Pikiran di tangannya dia berpikir apakah harus membanting anak itu ke tanah atau terus memeganginya. Teguh melihatnya memastikan Brasta tak akan berbuat macam-macam. Setelah yakin dia kembali berjalan keluar. "Jika kalian takut aku yang akan menyelesaikannya."

Begitu Teguh membuka pintu, dua baris pasukan bersenjata lengkap menyambutnya. "Tembak!" dan seluruh senjata mereka menembak bersamaan. Pintu di belakang ditutup rapat-rapat, orang-orang yang ketakutan bergetar menahan pintu tersebut saat ratusan butiran peluru menghujani pintu dengan suara besi beradu. Teguh dibaliknya bertahan sekuat mungkin, dia mengencangkan otot-otot lenganya semaksimal mungkin dan menjadikannya tameng. Peluru-peluru itu memantul di lengannya menimbulkan luka gores. Peluru dengan kaliber lebih besar berhasil menembus kulit dan merobeknya sedikit demi sedikit. Hingga rentetan tembakan itu selesai dengan marah Teguh menurunkan tangan dan bersiap menyerang namun di ujung mata sebuah peluncur roket telah siap menghadapinya. Percikan api di dalamnya mendorong roket begitu cepat, meluncur pada jalur tepat ke Teguh. Terkesiap, Teguh mencoba membuat pertahanan sekuat dan secepatnya. Roket itu menghantamnya perisai tangannya dan meledak tepat di depan wajahnya. Daya ledaknya melempar Teguh, mendobrak pintu di belakangnya hingga orang-orang yang menahannya berjatuhan. Tak ingin ada tembakan susulan mereka yang masih sanggup berdiri sigap menutup dan menahan pintu itu kembali. Mereka semua menatap ngeri saat asap menguap dari seluruh tubuh Teguh. Luka bakar hampir di seluruh tubuh, tangannya terkulai terluka parah, terkoyak. Risa gemetaran, hatinya berduka melihat Teguh. Dia berlutut, berteriak pada siapapun untuk menolong Teguh, apapun. Namun keberanian telah hilang dalam diri semua orang. Jiwa bebas mereka telah direnggut dan hanya menyisakan ketakutan.

BakatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang