Pemberontakan 2: Merah Marah

331 39 0
                                    

Risa terlempar, membentur salah satu tabung di ruangan. Ayahnya berdiri gagah di depan berjalan mendekati. Risa meringkuk ketakutan. Dengan suara bergetar dia spontan meminta maaf pada bayang tinggi menyeramkan di depannya. Namun sosok itu malah menendang Risa hingga terbatuk-batuk, meringis kesakitan. Risa terus meminta maaf, memohon sekerasnya agar Ayah berhenti menyiksanya. Kaki besar berbalut sepatu kulit terus menendang Risa tak peduli sekuat apa Risa meringis, selirih apa dia memohon. Risa tidak tahan lagi. Dia berteriak memberontak. Mendorong sosok di depan untuk menjauh. Sorot mata ayah semakin tajam. Risa bangkit berlari. Dari balik matanya kita bisa melihat Risa menyusuri selasar, menaiki tangga kayu menuju kamarnya. Dia tidak tahu bagaimana dia bisa berada di sini, yang dia tahu dia ketakutan. Dia membanting pintu, melempar dirinya ke kasur dan menarik selimut hingga tubuhnya terbungkus. Suara langkah kaki tegap menghentak lantai kayu. Menaiki tangga mendekat.

"Cukup ayah..." Risa gemetar dalam selimut.

Pintu di dobrak. Risa merinding, dia memeluk lututnya dingin. Selimutnya terhempas saat tubuhnya disabet oleh sesuatu kesat. Sang Ayah berdiri di hadapannya dengan tangan di atas menggenggam ikat pinggang. Memecutnya pada Risa. Risa berteriak. Kulitnya perih, merah, terkelupas.

"Aku minta maaf, Yah!"

"Untuk apa?!" satu pecutan di lengannya.

"Aku minta maaf!!!"

"Untuk apa?!" suara Ayah lebih keras begitupun pecutannya.

Dialog itu terus terulang. Risa tak tahu apa salahnya. Tak pernah tahu.

"Untuk apa?! Jawab aku anak sialan!!!" tangannya menghantarkan satu sabetan lagi.

Risa menangkap sabuk kulit sialan itu. Menatap pria di depan yang tak pernah menjadi sosok ayah dalam hidupnya dengan matanya yang merah marah. "Maafkan aku telah menjadi anakmu! Maafkan aku terlahir menjadi anakmu! Dan maafkan aku tak pernah punya keberanian untuk melawanmu. Sekarang cukup!" Risa menarik sabuk tari tangan Ayahnya dan melemparnya jauh-jauh.

Sang ayah malah menyeringai lebar, tangannya terangkat dengan telapak tangan mengayun siap menghancurkan wajah pemberontak di depannya. Risa menangkap tangan itu dan menahannya sekuat tenaga hingga bergetar. Terasa ayahnya menambah kekuatan membuat Risa merasa lemas. Dia memejamkan matanya kuat-kuat, berteriak, mengerahkan segala tenaga yang dia miliki. Tangan jahat yang berusaha menyakitinya terhempas. Mata ayah membesar tak percaya, dengan tangan yang lain dia mencoba menampar Risa lagi. Kali ini Risa mencengkeram tangan tersebut dan menghentikannya seketika. Tangannya berubah hitam, kuku-kuku jarinya masuk ke dalam daging tangan Ayah. Amarahnya menjerit bersama dorongan tangan hitam kasar menghempaskan pria di depannya hingga menabrak dinding. Risa tak berhenti di sana, dia menerjang Ayahnya hingga tersandar tak berdaya, mendudukinya dan mulai mencakar, menusuk, mencabik, merobek tiap kulit, daging, apapun yang tangannya bisa ambil. Perlakuan kasar yang diterimanya selama ini telah menjadi karang di hati. Air mata yang terus dikeluarkan selama bertahun-tahun tinggal bersama orang-orang yang disebut keluarga tak cukup untuk mengikisnya dan ini akan menjadi air mata terakhirnya. Jika air asin tak bisa menghancurkan karangnya, hanya kekuatan yang bisa. Tangisnya meluap seliar dia menghancurkan tubuh di depannya yang tak bergerak. Tak pernah ada rasa puas pada pelampiasan. Hanya lelah yang menghentikannya Risa. Tersedu-sedu Risa membenamkan wajahnya pada dada Ayahnya menanyakan berkali-kali "Kenapa?" kenapa dia memperlakukannya seperti ini, kenapa dia membuatnya merasa tak pernah menjadi anak seutuhnya, dan kenapa lainnya. Pria itu terbatuk-batuk, tertawa. Risa menatap wajahnya. Untuk pertama kalinya dia melihat wajah seorang ayah yang dia dambakan; mata yang menatapmu lembut dan senyum yang membuatmu teduh.

"Bagus, nak. Itu baru anakku. Kuat." Sang Ayah berkata terbata-bata, "Sekarang jangan pernah biarkan siapapun menyakitimu lagi. Jangan tunjukkan kelemahan lagi pada siapapun. Lawan mereka, bunuh jika perlu." Dia terkekeh.

BakatOù les histoires vivent. Découvrez maintenant