Bakat Brasta

3.2K 210 37
                                    

"Woi! Berhenti lo!" sekumpulan orang berlari mengejar pemuda tanggung di depan. Beberapa saat sebelumnya telah terjadi pencopetan di pasar terbesar di kota.

Heh, mereka kira aku bodoh. Mana mungkin aku berhenti, pikir pemuda itu. Brasta namanya. Pemuda berkulit coklat, berkaos hitam, dengan celana jins pendek belel mempercepat larinya, menghindari orang-orang di depannya yang bingung melihatnya di kejar-kejar.

Dari belakang suara deru langkah kaki semakin besar. Teriakan-teriakan kepada Brasta juga semakin kencang. Teriakan "Copet" dengan cepat membius orang-orang di sekitar. Yang tadi sedang tertawa langsung emosi ikut mengejar, yang bengong langsung sadar dan ikut mengejar, yang tidak ada kerjaan begitu senang bisa ikut mengejar.

Brasta terus berlari, kakinya cepat silih berganti menghentak tanah. Keringat keluar dari setiap porinya, mengalir ke sela-sela rambut dan kulitnya. Bajunya terlihat basah pada bagian belakang. Sungguh, Brasta merasa bisa jatuh kapan saja, tapi dia tidak boleh berhenti. Kematian mengejarnya, dan sudah begitu dekat. Orang-orang di belakang Brasta sudah hampir bisa menangkapnya. Brasta merasa nasib sudah tinggal berapa langkah. Dia tidak akan bisa menghindarinya.

Tiba-tiba pandangan Brasta berubah. Matanya berkedut-kedut, merubah fokus matanya menjadi jauh, dekat, jauh, dekat, dengan cepat. Lalu kemudian, pandangan Brasta meluas. Dia bisa melihat semua orang di sekitarnya. Bahkan orang-orang yang sedang mengejar di balik kepalanya. Jarak antara mereka dan Brasta sudah sangat dekat. Salah satu dari mereka bahkan berusaha menggapai belakang bajunya dan semua itu terlihat dalam gerakan lambat.

Pandangan Brasta beralih ke yang lain. Tidak jauh darinya ada laki-laki berjalan ke arahnya di persimpangan, tidak terlihat mata biasa karena terhalang pertokoan dan dalam beberapa saat mereka akan berpapasan. Brasta dengan cepat menghindar, memiringkan badannya saat laki-laki itu muncul di persimpangan pertokoan. Untuk sesaat wajah mereka bertemu. Brasta yang hitam gersang, berkeringat, dan terlihat hampir pingsan bersitatap dengan laki-laki tonggos dengan mulut terbuka lebar dan lagi, semua itu dalam gerakan lambat.

Brasta berhasil menghindar. Dia melihat kebelakang dan laki-laki itu masih berdiri di sana dengan mulut terbuka dan memegang dadanya dan kemudian, tabrakan besar terjadi. Orang-orang yang mengejar Brasta berjatuhan menabrak laki-laki yang menghalangi jalan mereka. Brasta tersenyum. Dia terus berlari menjauh dan menghilang di tikungan.

BAKAT

Di sebuah gang kecil antar pertokoan terdengar suara nafas seseorang yang begitu berat. Brasta berusaha mengatur nafasnya yang masih berkejaran. Jantungnya tak berhenti berdegup kencang, bahkan iramanya terdengar di gendang telinga. Di gang gelap itu Brasta mengistirahatkan kaki dan tubuhnya. Dia mengeluarkan dompet wanita yang di selipkan di saku belakang jinsnya. Brasta membukanya dan hanya menemukan tujuh ribu rupiah. Brasta menggeram. Dia mempertaruhkan nyawanya hanya untuk beberapa lembar uang kembalian! Dia meremas uang itu dan melempar dompet tersebut kuat-kuat hingga mengenai sebuah tong sampah, membuatnya terjatuh berkelontang. Brasta mengantongi uang itu dan berdiri.

"Itu dia!" teriak seseorang dari ujung gang. Brasta berbalik dan melihat beberapa orang sudah berada di ujung gang mendekatinya. Brasta ingin berlari tapi kakinya terasa tanpa daya. Dengan tertatih-tatih dia berusaha mundur menjauh.

Suara balok kayu memantul di selasar ketika orang-orang yang mendekatinya memukul-mukulkannya pada dinding dan tanah. Jantung Brasta kembali berdetak kencang ketakutan. Sebisa mungkin dia harus pergi dengan sisa tenaganya.

"Mau kemana lo sekarang!" suara seseorang menghardiknya dari belakang, dilanjutkan dengan sebuah umpatan kasar, "Mati lo!"

Saat itu, pandangan Brasta berubah kembali. Matanya berkedut-kedut, pandangannya meluas, dan Brasta bisa melihat orang di belakangnya mencoba memukulnya dengan balok kayu, dalam gerakan lambat.

Mudah bagi Brasta menghindar jika gerakan lawannya selambat ini. Brasta menghindar membuat kayu balok itu hanya lewat di depan wajahnya. Dengan cepat Brasta membalas dengan pukulan ke pelipis kiri orang itu. Orang itu terpental ke sisi gang yang merupakan dinding keras. Terdengar suara benturan saat kepala orang itu menghantam dinding lalu terjatuh dan tidak bergerak. Empat orang lain yang melihat kejadian itu saling menatap satu sama lain, kemudian mereka menyerang Brasta bersama.

Seorang dari mereka mengangkat kedua tangannya tinggi, mengayunkan baloknya ke atas, tapi Brasta melihat itu semua. Sebelum balok itu turun Brasta menendang perut orang itu hingga tersungkur kesakitan. Seorang lagi datang dengan tinjunya tepat ke arah wajah Brasta, kali ini Brasta menghindar ke bawah dan membalasnya dengan uppercut. Rahangnya bergemertak dan orang itu jatuh ke tanah. Yang terakhir mengayunkan balok kayu mengincar sisi kiri wajah Brasta, sudah begitu dekat hingga Brasta tidak bisa menghindar. Brasta menahannya dengan lengan kiri lalu kepalan tangan kanannya meluncur ke rahang kiri lawannya. Satu orang pingsan dan tiga orang kesakitan. Orang kelima sudah berlari saat melihat melihat tiga temannya jatuh tak berdaya.

Brasta bernafas lega. Dia mengelus tangannya yang kesakitan menahan serangan barusan. Apa yang terjadi padanya? Dia biasa berkelahi tapi melawan lima orang sekaligus dan cuma cidera di tangan? Itu bukan hal biasa. Dengan gontai dia berjalan menjauh dari orang-orang di bawahnya. Baru beberapa langkah, terdengar lagi teriakan dari belakangnya.

Brasta menoleh, kali ini jumlahnya hampir dua kali lipat dari yang tadi. Brasta benar-benar kelelahan, bernafas pun berat baginya. Dia hanya bisa berdiri tak berdaya saat mereka mendekat, penglihatannya mulai tidak jelas. Kemudian, sebuah bogem mentah mendarat di wajahnya.

BAKAT

Brasta membuka matanya. Dia baru saja tidak sadarkan diri dan sekarang saat dia membuka matanya, rasa sakit langsung menusuk dirinya.

"Ugh!" Brasta berusaha bangkit, "Aghh!" darah segar keluar dari mulut dan hidungnya. Brasta terbatuk-batuk dan membuatnya semakin menderita. Brasta terjatuh kembali. Menggerakkan satu otot saja membuatnya ingin berteriak. Akhirnya dia hanya berbaring di sana. Matanya tidak bisa terbuka sempurna tapi samar dia masih bisa melihat tempatnya sekarang tidak berubah, gang kecil antar pertokoan.

"Kenapa aku? Kenapa aku yang menjadi orang jahat?" Brasta berbicara pada diri sendiri. Dia mengingat masa lalunya. Kenapa dia bisa sampai seperti ini. Kenapa dia bisa di sini. Lalu dia mengepal tangannya. Membenci masa lalunya.


BakatWhere stories live. Discover now