Perjalanan Idon: Pulang

479 58 0
                                    

Idon tersenyum simpul saat melihat tugu batas desa terlihat dari belakang mobil pikap yang ditumpanginya. Dua puluh menit kemudian dia sudah berdiri di depan sebuah rumah berbata merah dengan atap berwarna sama mulai menghitam. Pintunya terbuka namun tidak terlihat ada orang di dalam. Idon mengencangkan ranselnya dan berjalan ke dalam, mengucapkan salam, namun tidak ada jawaban. Di salam yang kedua Idon merasa lantai semen itu bergetar karena seseorang berlari dari dalam. Sebuah sarung merah muda melambai ke arahnya ketika seorang pria berumur lima puluh tahunan muncul dari dalam dengan atasan singlet menutupi kulit coklatnya.

"Bapak!" Idon mencium tangan gemuk di depannya.

"Tumben kamu pulang?" sambil menepuk pundak anaknya suaranya menyambut tegas.

"Kangen, Pak," Idon berkata manja.

"Dasar. Sana, temui ibumu di belakang."

Idon nyengir ke bapaknya sebelum berlalu masuk lebih dalam ke rumah. Di dapur ibunya terlihat sedang sibuk memasak di tungku kayu bakar, meniup-meniup agar bara apinya tetap menyala mengenakan daster merah tanpa lengan. Idon mengucapkan salam di muka pintu. Ibunya menoleh padanya, senyumnya langsung merekah bahagia.

"Idon! Kamu pulang, nak?!" Ibunya bangkit, wajahnya mirip sekali dengan anaknya. Terutama bagian bibirnya. Ibu bergegas memeluk anaknya, lalu mencium kedua pipinya. "Kapan sampai?" tanyanya.

"Baru saja, Bu. Maaf nggak bilang kalau mau pulang," jelasnya setelah mencium tangannya.

"Terus, kamu naik apa? Kok, nggak bilang dulu. Ibu kan bisa suruh bapak jemput kalo kamu bilang!"

"Iya, maaf. Buru-buru, Bu. Kangen berat. Hehehe."

"Yasudah, ganti baju dulu, nanti kita makan sama-sama."

Idon mengiyakan dan pergi ke kamarnya. Di sibakkan hordeng di pintu kamar, jendela kamar langsung menyambutnya dengan cahaya dari luar yang menghadap kebun. Dinding berlapis semen yang mendinginkan hawa kamar. Tempat tidur besi dengan kasur kapuk di sudut kamar, meja belajar tepat di bawah jendela, dan lemari kayu dua pintu di sebelah pintu. Idon tersenyum senang, kamarnya rapi di bersihkan ibunya, tidak seperti kosnya. Dia menhirup aroma kamar, bau daun pisang, singkong, dan pepohonan di sekitar mengisi inderanya, tidak ada bau apek, dan debu seperti di kosnya. Namun, ada bau lain yang masuk dalam hidungnya, lembut dan segar, tapi Idon tidak tahu itu apa.

Idon segera menanggalkan seluruh pakaian hingga tersisa celana dalam. Dia membuka tas ransel di tempat tidurnya dan mulai mengeluarkan pakaiannya. Sedang asik mencari kaos andalannya suara hordeng terdengar terbuka. Refleks Idon menengok ke pintu kamarnya. Seorang wanita sepantaran sedang melihatnya dengan mata membesar, wajahnya ketakutan lalu teriakan memecah suasana. Idon yang gelagapan bingung mencari apapun untuk menutupi kemaluannya meski masih memakai dalaman. Hordengnya tertutup cepat, dengan cepat juga idon memakai celana dan baju yang bisa diraihnya. Lima menit kemudian seisi rumah sibuk menenangkan wanita yang terlihat mengalami trauma.

Suasana di ruang tengah terasa mencekam. Semua orang duduk dalam diam sambil menyuap makanan. Wanita tadi, Risa duduk di sebelah Ibu terlihat mengunyah makanannya dengan enggan. Idon yang sesekali mencuri pandang merasa bersalah pada keadaannya. Hanya bapak yang bersikap biasa saja, dari tadi sibuk meminta ibu mengambil lauk untuknya, menambah nasinya, dan mengisi tempat minumnya. Hingga makanan di atas piringnya habis, Idon tetap merasa susah menelan.

BAKAT

Di belakang rumah Ibu dan Risa sedang membersihkan piring kotor dekat sumur. Risa hanya diam sambil menggosok gelas dengan gumpalan jaring kasa.

"Maafin Ibu, ya. Ibu lupa kasih tau nak Risa," ujar ibu meredam suasana. Dia merasa bersalah lupa memberitahu Risa yang baru saja selesai dari mandinya dan masuk ke dalam.

"Risa juga yang salah, Bu. Masuk nggak ngasih salam," Risa mencari kesalahan agar Ibu tidak menyalahkan dirinya.

Di ruang tamu, Idon duduk bersama Bapak di atas sofa merah kusam, menikmati kopi dalam gelas besar.

"Itu siapa, Pak?" Idon bertanya pelan.

"Namanya Risa. Bapak nemu di sungai," jawab Bapak datar sambil menyeruput kopi dalam gelas.

"Seriuslah, Pak," Idon terdengar kecewa.

"Nah, kau ini, ada tampang bapak becanda?!" bapak menatap Idon lekat-lekat.

Idon melihat wajah bapak jelas, kumis tebalnya terangkat sebelah, "Nggak, Pak. Kok bisa sih, Pak?"

"Bapak juga penasaran. Sudah bapak tanya, tapi dia tidak mau bilang."

"Kok, Bapak nggak cerita? kapan Bapak nemunya?"

"Seminggu yang lalu."

"Mungkin dia penunggu sungai, Pak. Kayak cerita kakek."

"Ah, kau ini. Sudah bapak kuliahkan jauh-jauh di kota tapi masih percaya dongeng yang kakek ceritakan. Mending kau bantu bapak berkebun saja."

"Hehehe, janganlah, Pak."

"Omong-omong, gimana kuliahmu di sana? Tidak aneh-aneh kan kau di kota?" Interogasi dari bapak dimulai.

"Tenang saja, aman kok, Pak," Idon tersenyum menjaga suasana tetap tenang. "Nggak jelek, tapi nggak bagus juga."

"Kau ini!" bapak mengangkat tangannya tinggi ke atas, "Kalau kau sampai malukan keluarga, bapak ikat kau di kebun durian semalaman."

Idon menahan tawanya, sadar Bapak hanya bercanda. Dia pura-pura patuh tersenyum tidak jelas.

"Ayo, temani bapak!" Bapak bangkit dari duduknya, menyarungkan golok di pinggangnya, "Kita cari kayu bakar."

BAKAT

Suara derungan knalpot motor dua tak dengan tangki bahan bakar di depan berhenti di depan kebun durian. Idon dan Bapak memarkirnya dekat gubuk beratap ijuk lalu mulai berjalan masuk kebun. Angin siang itu menyambut mereka, menggerakkan daun-daun di atas dan bayangan di bawahnya, membawa juga suara alam yang hanya bisa di dengar Idon. Bukan sebuah nyanyian seperti pohon-pohon di taman kota, bukan juga celoteh tanpa makna yang di dengarnya di kios tanaman atau dua kaktus yang dia titipkan pada temannya di kosan, tapi rintihan mengaduh kesakitan, meminta siapapun menolongnya.

"Hei, Idon, kenapa diam di situ?" suara bapak terdengar jauh di depan.

"Iya, Pak," Idon berlari kecil menyusul bapaknya. "Pak, pohonnya kenapa?"

Si bapak langsung berhenti menatap anaknya heran, "Kenapa apa?"

Idon yang sadar salah memilih kata berpikir untuk menjelaskan, "Kelihatannya tidak sehat."

"Ohhh," bapak melanjutkan langkahnya, "Kena penyakit. Musim hujan tidak habis-habis."

"Terus, tidak bapak coba obati?"

"Sudah, tapi untuk menjaga pohon lain tidak terkena bapak harus menebang dan membakar akar pohon yang sudah mati," Idon langsung menegang mendengarnya, "tapi, bapak tidak bisa melakukannya," ototnya melemas kembali. "Kamu tahu kan, tanah dan kebun ini warisan kakekmu dan salah satu pesannya adalah untuk tidak menebang satu pun pohon di sini dengan alasan apapun." Bapak mendesah panjang, "dan sekarang bapak khawatir panen kita akan gagal, kamu tahu kan semua hidup kita tergantung di sini. Jika bapak tidak bisa balik modal, mungkin bapak..." "ah, doakan saja pohon yang tersisa tidak ikut kena."

Idon mendengarkan penjelasan bapak dengan seksama, di sisi lain dia mendengarkan suara pohon di sekitarnya yang memprihatinkan setiap angin datang, "Semoga saja, Pak." Idon berdoa, bayangan Fradial muncul dalam benaknya. Dukanya belum hilang.

"Sudah! Sekarang kumpulkan kayu buat ibu masak," perintah bapak.



BakatWhere stories live. Discover now