Puisi 25 || Punca

604 41 0
                                    

Tiga tahun kemudian,
berbekal kristal impian,
kulakukanlah pendakian.

Kembali ke permulaan,
hulu menabur dambaan,
hampar bukit bebungaan.

Lotus, aster, tulip, krisan,
lestari bahari berbarisan,
sekar-sekar pemuitis lisan.

Setiba petang mengangan,
sanubari melingsir gerangan,
saatnyalah kupunguti kenangan.

Berpoci sukma kasmaran,
berpalar wigata transparan,
tamsil tanda tanya penasaran.

Beserta kanta bahu rembulan,
meniti saban memori di inci jalan,
kendatipun air mata mengalir pelan.

Intim tatapan,
intens percakapan,
meski tinggal harapan.

...

Aku terlampau hina,
tolol dalam memakna,
lelaki yang tak berguna!

Gemintang adiraja,
geming jadi sekekar baja,
mencemoohku yang kini durja.

Janjiku kepada kita,
bertempur dari gulita,
melebur kinasih grahita.

Tetapi kita telanjur luka,
sebab egoku barbar sesuka,
sempadan sesalan mengemuka.

Bersama merupa keluarga,
juga putra yang kita bangga,
justru aku ditumpas praduga.

Namun ... hadirmu seperti kejora,
hangat, erat, kuat, tak berpura-pura,
bahkan melangkaui digdayanya aksara.

Bersimpuh sendiri dicerca cakrawala,
pada pusara, isakku meraung candala,
bersama Satria, dan setangkai gladiola.

[.]

Gladiola {Wattys Award Winner}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang