Kirana #12 - On The List

4K 176 7
                                    

Untuk memenuhi permintaan dalam daftar yang Kafka tulis, pagi-pagi sekali aku sudah berada di depan rumah Kafka. Lengkap dengan pakaian jogging dan sepatu keds. Suatu keajaiban bukan, seorang Kirana Sakanti sudah bangun sepagi ini dengan pakaian jogging. Kak Ara, Ibu, dan Ayah kaget dan bertepuk tangan heboh waktu tadi melihatku keluar dari kamar dengan pakaian olah raga. Memang asem banget nih keluargaku, doyan banget ngeledikin aku. Huh!

Aku turun dari mobil dan melangkah menuju pintu rumah Kafka. Aku mengetuk pintunya empat kali kemudian pintu terbuka. Kafka dengan kursi rodanya tersenyum lebar menyapaku.

"Kita jalan sekarang?" tanyaku. Kafka mengangguk.

Dia pamit pada orang tuanya. Saat orang tuanya mengantar kami keluar, aku pamit pada Ibu dan ayahnya yang membantu Kafka masuk ke mobil, melipat kursi rodanya, dan menaruhnya di bagasi mobil.

"Kirana, tolong jaga Kafka, ya. Tolong bantu dia." Ibunya menahan tanganku saat aku hendak membuka pintu mobil. Aku mengangguk.

Setelah ibunya melepaskan tanganku, aku masuk ke mobil. Kafka sudah duduk rapi di kursi penumpang depan dengan sabuk pengaman sudah terpasang. Aku tertawa melihatnya. Lucu melihatnya dengan sabuk pengaman terpasang. Dulu, waktu jiwa Kafka masih eksis, dia nggak peduli dengan seat belt bahkan meledek polisi saat melewati daerah yang sedang ada polisi berjaga.

"Kenapa?" tanya Kafka.

"Nggak. Nggak apa-apa," jawabku sambil mengulum senyum. "Ayo kita berangkat, Tuan Muda."

Kafka terkekeh. "Let's goooo!"

Aku menyalakan mobil lalu menekan pedal gas perlahan dan mobil pun melaju, meninggalkan halaman rumah Kafka. Aku membawa Kafka menuju gelanggang olah raga. Aku memapah Kafka turun dari mobil dan berjalan menuju arena lari. Kami memilih area yang nggak terlalu banyak orang dan agak berumput supaya kalau Kafka jatuh nggak akan terlalu sakit.

Aku mengajari Kafka berjalan. Mengajarinya seperti mengajari anak kecil. Melihat dia melangkah sedikit demi sedikit dengan kekuatannya sendiri membuatku ikut berdebar. Saat dia mulai bisa berjalan beberapa langkah tanpa meraihku sebagai pegangan, rasanya bangga sekali.

"Ayo, Kafka! Kamu pasti bisa!" kataku memberi semangat.

Kafka memandangku lalu tersenyum. Wajahnya terlihat lelah dan keringat bercucuran dari keningnya. Aku menyusut keringat di wajahnya dengan tanganku. Dia agak tersentak, membuatku cepat-cepat menarik tanganku.

"Ayo kita mulai lagi!" kataku. "Kita coba tiga kali lagi terus kita istirahat dulu. Oke?"

Kafka mengangguk.

Aku melepaskan sedikit demi sedikit peganganku pada Kafka. Dia sudah bisa berdiri dengan kakinya sendiri. Lalu melangkah selangkah demi selangkah sampai akhirnya sedikit goyang dan aku segera menangkapnya sebelum dia jatuh ke tanah.

Aku menepuk bahunya untuk memberi semangat. Sampai percobaan ketiga dia sudah berhasil melangkah lebih jauh. Sesuai janjiku, kami istirahat dulu di pinggir lapangan. Menikmati sarapan kami.

"Kamu kapan mulai masuk sekolah lagi?" tanyaku.

"Senin besok," jawab Kafka.

Aku menggumam. Sayang ya, Kafka kelas IPS, jadi nggak bisa sekelas, deh...

"Walaupun kita nggak sekelas, kamu masih mau bantuin aku, kan?" Kafka seperti bisa baca pikiran aku.

"Pastinyaaa..." aku menjawab playfully.

Kafka terkekeh. "Yuk kita mulai lagi!"

Aku meneguk air minumku lalu berdiri dan memapah Kafka kembali.

Kamu pasti bisa jalan lagi secepatnya kok, Kaf. Aku yakin! Kamu pasti bisa!

Another Secret AdmirerWhere stories live. Discover now