Kirana # 10 - Feels Like a Dream

4.5K 198 3
                                    

Entah hal ini melegakan atau menyedihkan untukku. Setelah semua kebiasaan-kebiasaan jelekku yang sudah diketahui Kafka, kini cowok itu melupakannya. Bukan disengaja tapi rupanya dia nggak ingat semua kejadian saat jiwanya terpisah dari raganya. Kini Kafka seperti orang asing. Dia seperti nggak mengenalku.

Harusnya aku lega karena kebiasaan burukku nggak ada yang tahu, seperti aku sering kentut kalau sedang tidur. Atau aku sering joget-joget sendiri setiap dengar lagu iklan di tv. Harusnya aku lega dan senang karena Kafka telah bersatu lagi dengan raganya.

Tapi... Kenapa hatiku terasa sesak, ya?

Kamu nggak boleh kayak gini, Kirana. Nggak boleh! Kamu harus senang karena Kafka bukan lagi sebuah jiwa yang tanpa tujuan. Dia sudah kembali pada raganya dan bisa melanjutkan hidup dengan normal. Kamu nggak boleh sedih apalagi berpikiran kalau Kafka lebih baik hanya sebuah jiwa...

Aku menggelengkan kepala kuat-kuat untuk mengusir pikiran jahat itu. Aku bukan orang jahat meskipun aku juga bukan orang yang baik.

"Kirana," sebuah suara berat melafalkan namaku.

Aku menoleh. Chandra melangkah menghampiriku dan duduk di kursi besi yang sedang ku duduki. Karena Kafka sedang bersama keluarganya, aku memutuskan untuk ke luar sebentar. Memberi mereka privasi. Di sinilah aku, di taman belakang rumah sakit yang sepi.

"Kak Chandra," aku menyapa. "Nia dimana?"

"Dia mau beli roti katanya," sahut Chandra. Aku mengangguk dan kembali menunduk memandang tanganku yang saling bertaut di pangkuan.

"Cerita kamu tadi pagi - "

"Kak Chandra boleh nggak percaya, kok!" potongku sebelum mendengar dia mengataiku gila. Seperti teman-temanku jaman SD yang mengataiku gila karena aku bermain dengan temanku yang sudah meninggal.

"Aku percaya," ujar Chandra.

Aku menoleh memandangnya.

"Aku justru mau berterima kasih karena sudah menemani Kafka saat dia... Terpisah dari raganya." Chandra menarik napas panjang. "Tapi harusnya kamu bilang saat pertama kali kita bertemu. Ah, tapi aku maklum sih, kalau kamu bingung bilangnya gimana. Iya, kan?"

Aku mengangguk.

"Apa sebelum dia bangun dari koma, dia memang pemalu gitu kalau berhadapan sama kamu?"

Aku menggeleng pelan. "Kafka yang aku kenal, dia orangnya ramai, cerewet, bawel, kadang omongannya pedas." Aku tersenyum mengingatnya. "Sepertinya dia nggak ingat kejadian saat jiwanya terpisah."

"Dia hanya ingat kalau kamu adalah cewek yang disukanya diam-diam," kata Chandra.

Aku menoleh cepat. Chandra tadi bilang apa? Kafka menyukai aku diam-diam?

Chandra memandangku dengan matanya yang melebar. "Ah... Kamu belum baca buku harian Kafka yang aku kasih, ya?" Dia menggaruk tengkuknya. Salah tingkah.

"Kayaknya aku salah ngomong, nih..." gumamnya.

Kafka menyukaiku diam-diam? Kafka... K... Apa jangan-jangan...

"Apa surat cinta dengan inisial K itu Kafka yang nulis?" tanyaku.

Chandra bergumam lama. Dia seperti ragu mau menjawab tapi kemudian mengangguk. "Tapi jangan bilang Kafka kalau aku yang kasih tahu, ya..."

Aku mengangguk.

"Jadi sehari sebelum kejadian Kafka koma, aku dan dia bikin taruhan. Siapa yang berani ngajak ngomong langsung cewek yang kita sukai, dia menang," ujar Chandra. Matanya sedikit menerawang mengingat kejadian masa lalu.

Another Secret AdmirerWhere stories live. Discover now