Ibu masih tersenyum. Rambut panjangnya yang lembut berterbangan tertiup angin, menawarkan aroma seperti permen kapas dan jeruk mandarin yang selalu dikupas untuknya dan Sofie.

Air mata Seb bercucuran. Ia berhenti memukul pundak ibu dan kini ia memeluknya erat-erat. Tubuh tujuh tahunnya mengecil dan terus mengecil di dalam pelukan ibu. Ia seolah terlahir kembali menjadi bayi. Tanpa dosa, tanpa rasa takut. Yang ia rasakan hanya curahan kasih sayang yang berkelimpahan, hangat dan tidak membebani.

" ... semua ini salahku ...." Bisik Seb saat jemari ibu mengusapi tengkuknya. Lalu ia melihat benda itu di atas meja. Pistol yang akan menghabisi nyawa ibu.

Seb mendongak di pelukan ibu, menatap sendu wajahnya yang kelihatan lelah.

"Katakan sesuatu, Bu."

Jemari ibu berhenti mengusapnya, matanya mengerjap sesaat dan bibirnya bergerak membentuk untaian senyum lebar yang menghangatkan hati Seb. Lalu ia mengucapkan sesuatu seperti bisikan.

"Aku tidak bisa mendengarmu." Desah Seb putus asa.

Ibunya berbisik lagi.

"Aku tidak bisa mendengarmu." Seb mengerjap panik saat tubuhnya terasa kian berat dan berat. Ia tidak lagi terasa seperti anak umur tujuh tahun di pangkuan ibu. Dan ia tahu saatnya sudah tiba. "Tolong katakan sesuatu. Aku tidak bisa mendengarmu."

Ibu meninggalkannya untuk bangkit berdiri. Ia mengambil pistol itu dan mengarahkannya ke pelipis.

"Jangan ... " Seb terisak kencang.

Lalu suara letusan memekakkan telinga.

Seb terlonjak seketika. Rasanya seperti melayang ke atas langit lalu dihempaskan sekencang-kencangnya ke dasar jurang. Dadanya seperti diremas, jantungnya seolah dicabut paksa. Yang tertinggal hanya kemarahan, rasa putus asa, dan mual berlebihan.

Seb terbatuk-batuk memegang dadanya. Lalu sambil terengah ia melihat sekelilingnya dengan bingung. Hal pertama yang ia lihat adalah ruangan tamu yang gelap, buku-buku Matematika yang berserakan di meja depan sofanya, gorden jendela yang bergoyang dari balkon, dan wajah Serra Agatha di sampingnya.

Satu tangan Serra memegang pundaknya dan satunya lagi di tengkuknya. Ia mengucapkan sesuatu pada Seb, namun Seb menepis tangannya dengan kasar. Kepalanya terasa mau pecah.

Disorientasi itu menyerangnya lagi. Ia tidak ingat apa pun. Sejak kapan ia tertidur di sini? Ia melihat kembali buku-buku pelajaran sekolah yang bertebaran di meja, secangkir teh hitam yang sudah dingin, kaleng bir yang sudah kosong, dan dua mangkuk makanan.

"Cuma mimpi," bisik Serra lagi. Suaranya terdengar berkali-kali lipat lebih cemas ketimbang wajahnya yang kelihatan tenang, "ini cuma mimpi, Seb. Relax."

Seb meringis dalam hati. Tidak seharusnya ia ketiduran di sofa ini. Tidak seharusnya pula ia membiarkan orang asing melihatnya serapuh ini. Hanya Sofie yang pernah melihatnya seperti ini dan itu sudah cukup menyiksa bagi Seb. Ia benci dikasihani.

"Seb?"

Serra mengernyit bingung saat Seb meninggalkan sofanya. Laki-laki itu menyambar jasnya dengan gerakan kasar, lalu melintasi ruang tamunya menuju pintu. Langkahnya gusar dan terburu-buru, seolah apartemen ini akan menelannya hidup-hidup kalau ia tidak segera pergi.

"Hei, hei ..." Serra menahan tangannya setelah pintu apartemen terbuka lebar. "Nggak pa-pa. Elo boleh tinggal di sini kalau lo mau."

Sisa rasa mual yang masih bercokol di dadanya membuat Seb menepis tangan Serra. Tapi kali ini ia ingin memastikan gadis itu benar-benar tahu dengan siapa ia berhadapan.

Disambarnya pergelangan tangan Serra hingga gadis itu merintih. Gadis itu harus sadar kapan dia harus berhenti ikut campur dan masuk ke wilayah rahasianya. Seb barangkali telah teledor dengan membuka dirinya sedikit terlalu banyak, tapi ini tidak boleh terulang lagi.

"Aku membayarmu bukan untuk ini." Geram Seb.

"Seb?" Serra merintih sekali lagi. "Lepasin."

"Aku nggak minta semua ini!"

Seb melepasnya dengan satu dorongan kencang hingga gadis itu terjungkal. Mata Serra terbelalak. Napasnya tersengal membalas tatapan Seb dengan sorot tak percaya. Seketika itu tubuh Seb membeku.

Apa yang telah aku lakukan?

Seb mundur selangkah dan menarik rambutnya sendiri dengan frustrasi. Suara geraman keluar dari bibirnya.

"Semua orang punya kelemahannya sendiri, Seb. For God's sake, elo berusaha terlalu keras menyembunyikannya. Biar gue bantu lo, oke?" Serra masih saja tidak menyerah. Dia melangkah hati-hati untuk menghampiri tempat Seb. Kedua tangannya terulur perlahan, ragu-ragu namun tegas. "Nggak ada yang sempurna, ayah lo, ibu lo, begitu juga elo, cobalah untuk menerimanya. Berdamai dengan diri sendiri—"

Tapi ia harus sempurna. Ayahnya sempurna. Atau setidaknya ayahnya menginginkan ia sempurna. "Diam, Anak Kecil. Kamu nggak tahu apa-apa."

Serra terdiam. Seolah bingung bagaimana harus berhadapan dengan orang gila. Seb tidak ingin Serra menatapnya demikian. Ia ingin gadis itu memandanginya seperti beberapa jam lalu saat mereka berdansa dengan musik Etta James. Ia tidak ingin terlihat seperti monster, atau lebih parahnya lagi, seperti orang gila.

Seb segera membuang muka sebelum gadis itu bisa kembali merasukinya.

"Kamu cuma anak sekolah." Ia mencoba memperingatkan dirinya sekali lagi bahwa gadis ini terlalu berbahaya baginya. "Anak sekolah yang butuh uang."

Seb tidak perlu melihat bagaimana reaksi Serra terhadap ucapannya tadi. Ia sudah terlebih dulu meninggalkan kamar apartemennya. Berjalan cepat menuju lift dan menghilang dari gedung itu.

Persetan. Aku tidak butuh semua ini.

Seb mengumpat dan memakidalam perjalanannya pulang. Keringat bercucuran membasahi keningnya dantangannya gemetar saat dimasukkan ke dalam saku celana. Ia tersengal-sengalmengatur napas, lalu mengumpat lagi, tersengal-sengal lagi, kemudian mengumpatlagi dan berteriak pada udara.     

Forgetting Not ForgottenDonde viven las historias. Descúbrelo ahora