Part 1

139K 6.4K 210
                                        

Cerita ini sudah dihapus terhitung tanggal 1 Januari 2018. Akan segera terbit di Gramedia🙏

***

Jakarta, 2014.

SEBASTIAN tidak lagi ingat sudah berapa lama ia berdiri di situ. Mungkin dua puluh menit atau bahkan satu jam. Ia masih berdiri di sana mengamati sesosok perempuan yang terbaring kaku di tempat tidur pasien. Wajah cantiknya terlihat bengkak di sisi kanan. Matanya lebam dengan luka sobek di bawah dagu hingga leher.

Maafkan aku, Alice, tapi kamu terlihat mengerikan.

Seb menarik napas dalam-dalam dan seketika itu sadar tulangnya menggeretak nyeri. Ia menunduk untuk mengamati kepalan tangan kanannya yang dipenuhi bekas jahitan. Tentu saja ini tidak seberapa dengan yang diterima Alice. Bajingan beruntung seperti dirinya lolos dari kecelakaan maut hanya dengan nyeri tulang dan luka sayat di tangan, sementara kekasih "tercinta"nya justru mengalami gegar otak dan patah tulang yang lumayan parah.

"Hei ...."

Seb mendongak ke arah pintu. Sesosok perempuan mungil mendorong pintu kamar dan langsung berhambur ke tempatnya. Pelukannya kencang dan menenangkan.

"Untung kamu baik-baik saja," bisik gadis itu. "Aku benar-benar kaget waktu tahu kamu kecelakaan. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Seb memandangi wajah Sofie, adiknya, dengan tatapan kosong. Sesaat ia ingin memuntahkan semua yang ada di dalam kepalanya, supaya perasaannya lega. Tapi alih-alih melakukan semua itu, ia justru terdiam.

"Alice yang nyetir. Aku nggak terlalu ingat tapi ... tahu-tahu ada truk besar melintas kencang. Yang aku tahu kemudian, mobil kami sudah terguling." Bohong, sebenarnya.

Sofie membekap mulutnya dengan tatapan ngeri, lalu berpaling lagi pada Alice yang masih tidak sadarkan diri di ranjang. "Apa dia bakal baik-baik saja?"

"Dokter bilang masa kritisnya udah lewat. Dia akan pulih." Seb mengedik . "Mungkin akan butuh waktu. Tapi dia baik-baik saja."

Sofie beranjak mendekati Alice dan menggenggam tangannya yang terpasang selang infus. Napasnya tersekat seolah sedang menahan tangis.

Tipikal Sofie, pikir Seb, gadis yang perasa dan penyayang. Bahkan untuk seorang yang tidak terlalu mengenal Alice, Sofie lebih baik dalam mengekspresikan rasa cintanya ketimbang Seb yang selama tiga tahun delapan bulan memacarinya.

Sofie mengamit lengan Seb keluar menuju koridor rumah sakit. Dia terus menghibur Seb, sementara yang dihibur terlalu sibuk menyadari kedua kakinya mulai terasa pegal akibat berdiri seharian seperti patung. Ia butuh duduk, atau mungkin pulang dan mengambil tidur panjang. Tetapi ia masih harus menunggu kedua orang tua Alice.

Hm, kalau saja ia tidak dibebani moral untuk berakting sebagai seorang pacar yang baik, saat ini ia akan merelakan apa saja agar bisa segera mencium kasur.

"Melelahkan sekali." Tanpa sadar ia menggumam.

"Ha?" Sofie mengamati Seb dengan kebingungan.

Seb menggeleng. "Lupakan." Ia tersenyum tipis pada Sofie dan berharap gadis itu tidak menyadari sesuatu yang hilang dari dirinya. "Bagaimana kabarmu?"

"Aku baik-baik saja." Mereka duduk di bangku panjang bersama beberapa keluarga pasien lain yang tertidur lelap. "Tapi aku khawatir denganmu. Kapan terakhir kali kamu tidur pulas, Kak? Lingkaran hitam di matamu itu kentara sekali. Dan meskipun kamu kelihatan tampan dengan tuksedo ini, tapi bagiku kamu kelihatan belum tidur ratusan tahun."

Seb menggeleng. "Aku tidur."

Diam-diam ia mengamati cincin mungil yang tersemat di jari manis adiknya. Rasa-rasanya baru kemarin ia mengantar adiknya ke ruang kepala sekolah karena makan siangnya dirampas teman sekelasnya, dan tahu-tahu setahun yang lalu ia sudah menyaksikan adiknya mengucapkan janji sehidup semati dengan teman kuliahnya yang bernama Andre.

Waktu berlalu dengan cepat. Sementara kehidupan terus berputar dan mengalami pasang surut yang indah, ia merasa dirinya hanya berkutat di satu tempat.

"Semua ini akan berlalu dan suatu hari nanti Alice pasti juga akan memakai ini." Sofie menyadari arah tatapan Seb dan tersenyum mengangkat cincin kawinnya.

Seb membalas senyuman Sofie. Tidak akan. Ia tidak akan melamar Alice. Tidak malam ini, ataupun besok dan malam-malam berikutnya. Menikah tidak ada di kamus hidup seorang Sebastian Januardi. Tidak ada roman picisan dari hubungannya dengan Alice. Hubungannya dengan perempuan itu kacau. Bahkan, kecelakaan ini terjadi juga gara-gara itu. Mereka bertengkar hebat karena Seb mengatakan pada Alice bahwa ia tidak melihat adanya masa depan dari hubungan mereka.

Alice marah besar, histeria seperti maniak lebih tepatnya lagi, lalu merebut kunci mobil. Seb mengejarnya. Hanya sekadar ingin memastikan Alice tidak menggores-gores mobilnya dengan kunci. Namun, ia menyesal masuk ke dalam mobil itu karena kemudian Alice sengaja menabrakkan mobil mereka ke badan truk.

Mungkin bagi Alice lebih baik mati bersama daripada tidak bisa hidup bersama.

"Kamu sedang memikirkan Alice?" Lagi-lagi Sofie menatapnya sedih. Dia menggenggam jemari Seb dan meremasnya. "Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja.""

Lelah dibombardir oleh kalimat itu, Seb akhirnya memasang senyuman sangat lebar. "Thanks."

Sedetik kemudian seorang lelaki berjalan tergopoh-gopoh melintasi lorong rumah sakit dan sampai di tempat duduk mereka. Andre, suami Sofie, terlihat sangat panik dan langsung menghampiri Seb untuk memeluknya erat-erat.

"Aku turut sedih."

"Thanks, tapi Alice belum mati." Seb sadar semua orang sedang mengamatinya bingung. "Maksudku, thanks tapi dia baik-baik saja."

"Kamu perlu tumpangan pulang?" Sofie beranjak dari kursinya sambil merapikan tas.

"Aku bisa pulang naik taksi. Lagi pula aku masih harus menunggu orangtua Alice di sini. Kalian pulang duluan saja." Andai Sofie dan Andre tahu apa yang dipikirkannya saat ini. Ia lebih mengkhawatirkan nasib Porsche Panamera kesayangannya yangringsek gara-gara kecelakaan nahas tadi.

Sekarang apa yang harus ia lakukan? Ia tidak suka naik kendaraan umum.

"Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, Brengsek? Bersikap baik padaku dan minta maaf sebelum semuanya terlambat! Papaku nggak akan suka dengan perlakuanmu! Kamu pikir semua orang butuh kamu, aku butuh kamu, tapi kamu salah besar!" Teriak Alice beberapa jam sebelum ia merebut kunci mobil Seb. "Kamu benar-benar brengsek dan aku nggak percaya aku telah menghabiskan waktuku selama tiga tahun lebih bersama laki-laki sepertimu!"

"Seb? Kamu perlu tempat menginap?"

Lamunan Seb buyar seketika. Ia menggeleng. "Aku baik-baik aja."

"Kabari aku kalau kamu sudah sampai di rumah, oke? Aku hanya ingin memastikan kakakku nggak bunuh diri atau semacamnya. Dan cobalah tidur yang panjang. Kamu butuh istirahat."

Seb memeluk Sofie sekali lagi sebelum mereka saling bertukar salam dan akhirnya berpisah. Ia berdiri mengamati kepergian Sofie dan suaminya dari kejauhan, memastikan bahwa mereka sudah benar-benar lenyap dari pandangan. Lalu ia mengendurkan dua kancing teratas tuksedonya sambil mengembuskan napas lega.

Masih berapa lama lagi sebelum orang-tua Alice sampai di sini? Mereka mungkin masih berada di airport atau sedang dalam perjalanan, persetan. Seb sudah kehilangan semangatnya untuk menunggu, apalagi berpura-pura menjadi calon menantu yang baik untuk dua jam ke depan.

Jadi ia memutuskan untuk pergi dari rumah sakit ini.

Sungguh ... ia tidak tahu bahwasetelah malam itu hidupnya akan berubah.     

Forgetting Not ForgottenWhere stories live. Discover now