SATU-satunya alasan yang membawa Seb kembali ke rumah sakit itu, adalah agar ia bisa bertemu gadis kemarin lagi.
Seb tidak memungkiri, bahwa rasa antusias pada pertemuan kedua mereka sedikit membangkitkan semangat untuk lebih bersikap manis pada Alice. Ia tidak keberatan menyuapi Alice, memijit tangannya yang kebas, mengantarnya ke kamar kecil atau sekedar duduk di samping ranjang menunggunya tidur.
"Janji kamu akan tetap di sini sampai aku bangun?" Alice mengaitkan jemarinya pada telapak tangan Seb.
Seb menjawab dengan anggukan kepala.
Alice tersenyum manis. "Aku menarik kembali kata-kataku about you being an assholes. Andai aja kamu bisa begini setiap harinya, nggak harus menunggu aku kecelakaan dulu."
Seb hendak menawarkan senyuman palsu, tetapi hanya gumaman yang keluar.
"Ayahmu datang tadi siang waktu kamu pergi lunch sama Sofie."
"Oh ya? Apa yang kalian bicarakan?"
"Nggak banyak." Tetapi senyumannya justru mengatakan yang lain. "Dia hanya mendoakan supaya aku cepat sembuh."
Jelas ada sesuatu yang dibicarakan Tan Joseph Januardi saat menjenguk Alice. Sesuatu yang menyenangkan Alice tapi dirahasiakannya—untuk sementara.
"Kamu jangan pergi, ya. Temenin aku tidur, oke?"
"Oke." Lagi-lagi Seb berusaha mengukir senyuman terbaiknya untuk Alice. Tapi gagal.
Hanya lima menit setelah itu, Alice akhirnya tertidur pulas. Seb ikut senang, senang karena ia bisa segera menuju halte bus di depan rumah sakit. Seperti hendak menjemput heroinnya. Sesuatu yang sangat adiktif.
Ia tidak keberatan berjejalan dengan para manusia di halte, berhimpitan dengan para pekerja kantoran yang baru pulang dan berbaur dengan bau keringat mereka. Lalu saat bus dengan nomor yang sama dengan yang kemarin itu tiba, rasa berdebar itu tidak bisa dielakkan.
Ia masuk ke dalam, berjalan sedikit lebih cepat sambil mengedarkan pandangannya mencari si anak kecil. Nihil. Mungkin dia akan muncul di halte berikutnya seperti yang terjadi kemarin.
Seb masih menyimpan rasa optimis sesampainya mereka di halte kedua. Masih saja tidak ada. Ia menunggu di halte ketiga. Lalu keempat. Kelima. Dan sampai setengah dari isi bus nyaris kosong. Namun, gadis itu tetap saja tidak muncul.
Mungkin dia sudah pulang lebih awal? Atau bolos sekolah? Atau sengaja menghindar karena tahu Seb akan menunggunya?
Bodohnya aku. Seb mengumpat kesal dalam hati. Bukankah salah satu alasan mengapa ia menceritakan rahasianya kemarin, karena ia tahu gadis itu adalah orang asing yang notabene tidak akan pernah ia temui lagi keesokan harinya?
Jadi di sinilah ia sekarang. Duduk di kursi reyot penuh tambalan, dengan setelan jas kerja Hugo Boss yang kelewat rapi sambil menunggu seseorang yang tidak akan muncul, sementara mobil Audi-nya yang nyaman malah ia tinggalkan di rumah sakit. Ia merasa tolol.
Seb membuang napas seraya menatap keluar jendela dengan kosong. Semua rasa senang yang tadinya meluap, kini sirna menjadi uap.
"Duduk di sini yah, Dek, permisi." Seorang ibu tua mengangguk kepadanya sambil tersenyum lebar.
Seb membuka mulutnya siap untuk mengusir, tetapi ia terdiam. Gadis itu tidak akan muncul, untuk apa ia menyisakan kursi ini?
"Rapi banget, Dek, baru pulang kerja?" Sahut ibu itu lagi dengan ramah. Gigi emasnya menyembul keluar tanpa malu-malu.
YOU ARE READING
Forgetting Not Forgotten
Romance[TERSEDIA DI TOKO BUKU] "Cinta bukan segalanya. Cinta itu ibarat kita meletakkan pistol di tangan seseorang dan percaya bahwa orang itu tidak akan menembak kita. Coba pikir, orang idiot mana yang mau seperti itu?" *** Sebastian Januardi memiliki seg...
