Part 6

38.3K 3.6K 36
                                        

SEB selalu tahu kapan ia bermimpi dan kapan ia hanya sekedar mengenang masa lalu. Namun kali ini ia tidak bisa membedakannya. Ia berada di rumah tuanya yang dulu, berlari-lari dengan kaki kecilnya menuju halaman luar di mana Sofie sedang tertidur di pangkuan ibu. Astaga, ia ingat sore yang satu ini.

Ia berhenti sesaat untuk melihat pemandangan di depannya. Tidak salah lagi, memang sore yang itu. Ibu memangku Sofie, mengusap kepalanya dengan lembut sementara satu tangannya memegang buku. Hati Seb bergetar hebat. Betapa ia sangat merindukan pemandangan sederhana itu.

Ia masih ingat ingat bagaimana sang ibu akan mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum melihatnya, lalu memintanya untuk datang ke sana dan tidur di sisi Sofie. Ia akan berlari lebih cepat dari yang bisa ia lakukan, lalu berbaring di paha ibu dan tertidur di sana seharian.

Siapa sangka, kesederhanaan seperti ini akan terasa sangat mahal nantinya setelah ia beranjak dewasa. Dan siapa sangka pula, sore ini akan menjadi sore terakhirnya bersama ibu di rumah mereka, sebelum ibu diasingkan Tan Januardi di sebuah rumah isolasi.

"Kenapa, Sayang?" Ibu menunduk ke wajahnya. "Kenapa belum tidur?" Usapannya di rambut ikal Seb berhenti sejenak. "Ada yang mau kamu katakan?"

Seb menatap wajah lembut itu baik-baik, ia mengingat setiap guratan di wajahnya, helaian anak rambutnya, aroma harum tangannya yang seperti sabun dan angin segar. Ia berusaha keras merekam sebanyak-banyaknya sebelum ia bangun. Namun sesuatu yang sesak memenuhi dadanya dan membuat kedua matanya memanas.

"Kenapa, Seb?" Ibu tersenyum di atasnya. "Kamu kelihatan sedih."

Seb menggeleng kencang.

"Ada sesuatu yang mau kamu katakan, Sayang?"

Suara Serra berbisik kepadanya. Ungkapkan semua yang nggak sempat elo katakan, hal-hal yang selama ini cuma tersimpan di dada lo.

Tidak semudah itu. Seb kembali menggeleng dan menggigit bibirnya. Ia tidak bisa mengucapkan sepatah katapun pada ibu, meskipun sekadar kata sederhana seperti maaf.

Yang ia lakukan hanya menggeleng dan menggigit bibirnya. Ia ingin bangun dari mimpi ini. Ia tidak tahan melihat ibu tersenyum seperti ini, sementara ia tahu hal terakhir yang ia lihat dari ibu sebelum meninggal adalah air mata yang bercucuran.

"Kalau saja Ibu tahu apa yang akan terjadi nanti ... Karena aku tahu."

Ibu masih saja tersenyum padanya. "Memangnya apa yang terjadi?"

Seb membisu. Ibunya bertanya sekali lagi dengan suara lembut tentang apa yang akan terjadi setelah ini, dan Seb menjawabnya dengan suara gemetar. "Ibu akan meninggalkan kami semua. Aku dan Sofie. Dan aku tidak akan melihat Ibu lagi. Dan itu semua karena aku."

"Ibu ada di sini, Sayang."

Seb menggeleng keras. "Bukan di duniaku. Ini cuma mimpi."

Ibu masih saja tersenyum melihatnya. Senyuman lembut yang membuat kemarahan dan kesedihan Seb menjelma jadi keputusasaan.

"Kalau saja Ibu tahu apa yang akan terjadi. Aku tidak suka dengan masa depan setelah Ibu pergi. Aku takut menghadapi semua ini tanpa Ibu, aku takut harus selalu sendiri, aku takut karena aku harus selalu lebih kuat dari yang aku bisa, dan aku lebih takut lagi kalau aku tidak bisa melindungi Sofie. Semua ini salah Ibu karena meninggalkan kami." Kedua tangan mungil Seb menggapai pundak Ibu dan memukulnya bertubi-tubi dengan putus asa. "Semua ini salah Ibu! Ibu pengecut karena lebih memilih mati daripada berjuang untuk kami!"

Forgetting Not ForgottenWhere stories live. Discover now