SERRA Agatha lebih jangkung dari yang Seb kira. Saat mereka turun dari bus dan berjalan menuju gedung apartemen tempat tinggalnya, Seb melirik dari samping dan sadar tinggi gadis itu melewati bahunya.
Setiap gerakannya luwes, bahasa tubuhnya memancarkan aura kuat serta rasa percaya diri yang tidak pernah Seb lihat dari remaja tanggung mana pun. Hanya tas ransel, sepatu keds, dan topi Yankees butut itu saja, yang membuatnya kelihatan tidak jauh berbeda dengan anak remaja lainnya. Selebihnya, dia kelihatan seperti perempuan tangguh yang tahu cara menghadapi apa pun.
Serra berhenti di depan pintu apartemennya. Lantai 28 kamar ED—Seb mengingatnya baik-baik—dan berbalik pada Seb sebelum memasukkan kuncinya ke lubang pintu.
"Gue harus periksa barang bawaan lo dulu. Buat mastiin elo nggak bawa senjata tajam atau racun dan semua teman-temannya."
"Kamu bercanda kan?" Seb mengernyit kaget saat Serra menjawabnya dengan gelengan kepala. "Jesus Christ. Apa anak kecil seperti kalian nggak pernah diajari bersikap sopan sama yang lebih tua?"
"Apa orang-tua seperti kalian nggak pernah diajari untuk nggak menyebut nama Tuhan dengan sembarangan?" Serra menjentikkan jemari, memberi isyarat agar Seb mulai melucuti setelan jasnya. Yang dibalas oleh dengkusan kesal dari pria tersebut.
Seb melepas setelan jasnya, membuka setiap kantung yang ada di baliknya, lalu mengulurkan tangan untuk menarik dompet dari saku celananya sampai benar-benar kosong.
"Apa nih?" Serra menunjuk kantong di saku lainnya.
Seb mengeluarkan botol kecil berisi beberapa pil putih. "Obat tidur. Teman terbaikku di dunia."
"Senang berkenalan dengan teman baik lo."
Setelah gadis itu mengangguk, Seb mengenakan jasnya kembali.
Hawa dingin dan aroma bunga lavender menyambut Seb begitu Serra membukakan pintu apartemennya. Seb melangkah masuk dan mengamati sekelilingnya dengan seksama. Terus terang saat ia menunggu Serra membukakan pintu itu, ia sudah menyiapkan diri untuk berada di dalam kamar apartemen studio yang sempit, berantakan, dan serba mini. Jenis kamar apartemen yang hanya disiapkan seorang om-om nakal untuk simpanannya, nothing fancy, yang penting cukup untuk bermesraan.
Namun, yang dilihat Seb adalah kamar apartemen yang luas, mewah, fully furnished dengan tiga kamar. Dapur luasnya mengkilap dengan sebuah kitchen island yang nyaris tanpa noda. HDTV layar datar 46 inch terpasang di ruang tamu lengkap dengan stereo set terbaru. Lantai marmernya berkilauan, karpetnya bersih, dindingnya terbalut wallpaper minimalis modern, dengan balkon yang menghadap pemandangan kota yang indah.
Seb takjub. Semuanya serba wah, rasa-rasanya tidak ada satu pun benda ataupun sudut ruangan di apartemen ini yang tidak berteriak 'pandangi aku, aku keren'.
Dengan kamar apartemen senyaman dan semewah ini, Seb bisa menyimpulkan bahwa om-om itu, siapa pun dia, pastinya tergila-gila pada Serra dan berniat 'menyimpan'-nya untuk waktu yang lama. "Aku nggak ngerti." Seb berputar di ruang tamu itu sekali lagi. "Pacar kamu kaya, tapi kenapa kamu masih sering ambil tester gratisan di swalayan?"
"Pacar elo cantik, tapi kenapa elo masih tidur sama cewek lain di luar?"
"Masuk akal."
"Mau minum apa?" Serra membuka pintu lemari dinginnya dan membungkuk di depan sana.
"Apa aja."
"Semoga elo nggak berniat mabuk malam ini, Heineken di kulkas cuma sisa satu." Serra mengambil kaleng hijau itu dan meletakkannya di kitchen island. Sekilas Seb melihat di atas sana sebuah vas bening yang penuh dengan mawar. Mawar-mawarnya sudah layu, dan Serra mencabutnya tanpa ragu sebelum membuangnya begitu saja ke dalam tong sampah. "Gue ganti baju dulu. Anggap aja apartemen sendiri. Toh elo udah bayar."
YOU ARE READING
Forgetting Not Forgotten
Romance[TERSEDIA DI TOKO BUKU] "Cinta bukan segalanya. Cinta itu ibarat kita meletakkan pistol di tangan seseorang dan percaya bahwa orang itu tidak akan menembak kita. Coba pikir, orang idiot mana yang mau seperti itu?" *** Sebastian Januardi memiliki seg...
