Part 3

57.2K 4.2K 116
                                        

HAI, ini Sebastian Januardi. Tinggalkan pesan setelah nada bip.

BIP.

Halo, Seb, ya ampun aku baru baca berita tentang kecelakaan kamu! Kamu baik-baik saja? Aku khawatir—erase message.

Seb! Astaga aku kaget waktu baca berita! Gimana—erase message.

Seb, kamu lagi di mana sekarang? Gimana kondisi Alice? Demi Tuhan, aku harap kalian baik-baik—erase message.

Bapak Sebastian, saya baru saja menyimak berita di TV tentang—erase message.

Hai, Kak, aku harap kamu sudah tiba di rumah dan bersiap-siap tidur. Jangan khawatir tentang semuanya. Alice akan segera sembuh. Tidur yang lelap, oke? Aku akan ke RS lagi besok. I love you, Seb. Muah. Oh ya, satu hal lagi, abaikan Ayah kalau dia meneleponmu. Jangan masukin kata-katanya ke dalam hati. Kita tahu kan dia seperti apa? Love you, bye

BIP.

Seb melepaskan tuksedo dengan gerakan lelah. Matanya terasa perih karena rasa kantuk yang sudah terlalu lama ditahan. Begitu tuksedo itu terlepas, ia langsung merebahkan diri di atas sofa tanpa repot-repot melangkah ke kamar tidurnya yang lebih lega dan nyaman. Buat apa? Toh tidur di mana pun sama saja susah.

Bunyi kelontang memecahkan keheningan, saat botol obat yang berusaha diraihnya malah jatuh dari atas meja. Seb menatap hampa pada butiran-butiran pil tidur yang kini berhamburan di atas karpet. Rasa nyeri masih menyengat di telapak tangan kanannya saat ia berusaha memungut dua pil dari sana. Tanpa menunggu lama ia menenggak pil tersebut.

Lalu memejamkan mata, mengatur napas, dan menunggu pil itu bekerja membawanya ke dunia mimpi. Sofie benar. Ia butuh tidur.

***

"SELAMAT pagi, Pak."

Seb mengangguk singkat pada Inggrid, sekretarisnya yang melompat panik dari kursi begitu melihat kehadirannya. Wajahnya menyiratkan rasa kaget, namun tatapannya penuh simpatik. Bukan hanya Inggrid yang menyambutnya seperti itu di kantor, tapi nyaris semua staf melongokkan kepalanya dari kubikel mereka saat Seb lewat.

Seb membuka pintu kantor pribadinya dan langsung duduk menghadap laptop. Ia menghidupkan telepon untuk memanggil Inggrid masuk.

Wanita bertubuh tambun dengan sanggul sempurna itu melongokkan kepalanya ke balik pintu Seb. "Ya, Pak?"

"Jangan batalkan rapat siang ini. Saya ingin memastikan Anderson tahu kita tidak main-main soal merger itu. Ambilkan arsip kontrak kita yang kemarin, dan panggil Felix ke sini sekarang juga."

Inggrid bengong.

Seb mendongak risi padanya. "Ada apa?"

Inggrid memberanikan diri masuk ke dalam kantor Seb sambil meremas kedua tangannya dengan gugup. "Saya turut berduka cita atas kecelakaan kemarin. Bapak—"

"Baik-baik saja," potong Seb, "dan Alice tidak mati. Jadi tolong berhentilah mengasihani, apalagi berdukacita soal kecelakaan itu. Not a big deal."

Kecuali mobil Porsche-ku yang tidak akan bisa dibetulkan lagi. God damn...

"Ng—baik, Pak. Saya panggilkan Felix sekarang juga." Inggrid berbalik cepat dan menutup pintu.

Seb tidak mengerti dan tidak habis pikir mengapa semua orang harus berakting sedih karena kecelakaan itu. Tidak ada yang meninggal, dan semuanya masih sama seperti dulu. Alice mungkin akan sedikit banyak menjalani operasi, tapi dia akan sembuh dan kembali menjalani perannya sebagai pacar yang menjengkelkan. Mobilnya mungkin hancur lebur, tapi ia masih punya banyak di garasi rumahnya. Lalu apa yang harus diributkan, ha?

Forgetting Not ForgottenWhere stories live. Discover now