SEBASTIAN Januardi bukanlah tipikal manusia yang gemar mencoba sesuatu yang baru, melakukan hal-hal yang di luar kebiasaan, apalagi menempatkan dirinya di situasi yang tidak nyaman.
Tetapi kali ini ia memutuskan untuk memberi kesempatan pada intuisinya. Ia akan mencoba sesuatu yang baru, hanya untuk sekali ini saja, karena pikirannya sedang butuh penyegaran. Ia akan melakukan sesuatu yang sangat bukan dirinya, sesuatu yang akan mengundang belalakan mata dan decakan tak percaya dari semua orang.
Kapan terakhir kali Seb naik kendaraan umum? Tidak pernah. Lebih mungkin dunia ini hancur dihantam meteor, ketimbang melihat dirinya berjejalan di keramaian dan menempatkan bokongnya di kursi kendaraan umum yang apak. Tapi hari ini berbeda. Seb memutuskan untuk melakukan tindakan kontroversial itu untuk mengusir perasaan jenuhnya. Mengapa tidak, pikirnya. Toh tidak ada anggota keluarga ataupun wartawan yang mengetahui tindakannya ini. Dan tentu saja, ia harus naik kendaraan umum karena Porsche-nya sudah ringsek jadi rongsokan.
Setelah menghabiskan setengah jam berdiri linglung di depan gerbang rumah sakit, Seb memutuskan untuk mengambil bus pertama yang berhenti di depannya. Bus apa saja. Menuju ke mana saja. Persetan, karena ini untuk kali pertamanya.
Seb melompat ke dalam bus. Masih lengkap dengan setelan tuksedonya, ia berjalan menelusuri bangku demi bangku untuk mencari tempat duduk. Ia mengambil tempat duduk di kursi dekat lorong, beberapa baris di belakang. Ia tidak akan sudi mengambil kursi dekat jendela karena kondisi kacanya yang terbuka dan berminyak. Naik kendaraan umum saja sudah sangat mengerikan, apalagi menghabiskan sekian jam di samping kaca jorok penuh kuman?
Seb melipat kedua tangannya di depan dada seraya memejamkan mata. Ia tidak ambil pusing mengenai rute bus atau ke mana besi rongsokan ini akan membawanya pergi, yang penting tidur dulu. Ia butuh waktu tenang dan menyendiri.
"Permisi." Suara bariton menyadarkan lamunannya.
Seb membuka kedua matanya untuk memandangi bapak tua yang membungkuk di sampingnya.
Lelaki tua itu menenteng tas ransel yang terlihat berat. Wajahnya kelihatan lelah dan janggut di dagunya mengingatkan Seb pada sesuatu yang menjijikkan seperti sapu ijuk atau wajah salah satu pentolan Dewa 19.
"Kursinya kosong, Mas?" Bapak itu menunjuk kursi di samping Seb.
Seb menggeleng malas. "Sudah ada yang duduk."
Lelaki itu terlihat kaget sekaligus bingung, juga sedikit kesal. Terlebih lagi saat Seb mengeluarkan dompet di balik saku celananya dan meletakkannya di kursi kosong sebelah. Ia mendongak lagi pada lelaki tua itu. "Nah? Sekarang sudah ada yang isi."
Lelaki itu menggeleng tak percaya, lalu menghabiskan sisa waktunya berdiri di tengah keramaian bus.
Seb menangkap beberapa mata yang memandang jijik padanya. Mungkin kesal dengan perbuatannya tadi, atau mungkin juga bingung melihat penampilannya yang kelewat rapi untuk sekadar menumpang angkutan umum. Ia mengembus napas pendek sambil memejamkan mata. Akhirnya ia bisa mendapat ketenangan di dalam bus sumpek dan bau ketiak ini. Ia sama sekali tidak menyangka kalau ia memilih naik bus untuk mendapatkan ketenangan, alih-alih taksi.
Seb mencoba memikirkan Alice. Tentang momen-momen indah yang pernah mereka lalui. Saat pertama kali bertemu, menggandeng tangannya, menyesap kopi di kencan pertama di sebuah kedai mungil dekat kantor, pertama kali berciuman dan saat pertama kali Alice mengizinkannya tidur di rumahnya. Tiga tahun delapan bulan.... Kenapa semua itu terasa seperti putaran film kuno yang bosan dan menunggu untuk dihapus, ya?
"Permisi."
Seb mendecak kesal. Fuck off. Masih dengan mata terpejam ia menjawab, "Sudah ada yang duduk."
YOU ARE READING
Forgetting Not Forgotten
Romance[TERSEDIA DI TOKO BUKU] "Cinta bukan segalanya. Cinta itu ibarat kita meletakkan pistol di tangan seseorang dan percaya bahwa orang itu tidak akan menembak kita. Coba pikir, orang idiot mana yang mau seperti itu?" *** Sebastian Januardi memiliki seg...
