Seb mengernyit pada semua saran yang diberikan Serra. "Aku menyukai hidupku."
"Lalu apa yang elo lakukan di sini sama anak SMU?"
Seb menjawabnya dengan tatapan resah dan kerutan di dahi. Sementara Etta James masih bersenandung.
I found a dream, that I could speak to
A dream that I can call my own
I found a thrill to press my cheek to
A thrill that I have never known
Serra mulai bernyanyi. Suaranya memang tidak semerdu Etta James, tapi sesuatu menggelitik Seb untuk tersenyum dan tersenyum lagi. Dan menjadi semakin lebar saat gadis itu kembali mengangkat tangan kanannya untuk berputar di bawah sana. Sesaat dia seperti gasing kecil yang menggemaskan. Namun ketika dia merapat kepada Seb dan meliuk dengan pinggangnya, kini dia terlihat seperti perempuan dewasa yang layak untuk dicium.
"Elo punya problem sama eye contact."
"Hem?" Seb baru sadar ia sudah kembali memalingkan wajah.
"Kata orang, mata adalah jendela hati. Mungkin elo berusaha melarikan diri dari semua orang yang ingin melihat jauh ke hati lo."
Tawa kaku meluncur dari bibir Seb.
Serra melanjutkan. "Daripada terus-terusan hidup untuk menjadi Si Nomor Satu, lebih baik jalani hidup ini untuk menjadi Si Bahagia. Gue tahu ini terdengar klise, tapi elo harus menjalani hidup seperti yang elo mau. Elo bakal terkejut dengan kejutan apa bakal diberikan kehidupan ini buat lo. Hidup penuh misteri, kadang memang nggak selalu manis kayak red velvet cake, tapi juga nggak selalu kelam kayak lagu-lagu Adele."
Lagi-lagi Seb hanya diam. Setengah termenung mendengar kalimat itu, setengah tak percaya bahwa kalimat itu meluncur dari bibir anak 17 tahun.
"Gue turut menyesal dengan apa yang terjadi sama ibu elo. Jadi, elo percaya selama bertahun-tahun ini, bahwa dia bunuh diri karena ucapan lo?"
"Sehari sebelum dia menembak kepalanya, aku bilang ... aku nggak akan peduli sekalipun dia mati."
"Pernah nggak elo mikir, bisa jadi semua ucapan itu keluar ... karena ayah lo punya andil besar mencuci otak lo?"
"Kedengarannya seperti aku ingin mencari seseorang untuk disalahkan."
"Kedengarannya seperti anak umur tujuh tahun yang nggak tahu apa-apa, yang mengucapkan sesuatu begitu aja di bawah alam sadarnya. Gue tahu udah banyak yang mengatakan ini, tapi berhentilah menyalahkan diri lo sendiri. Ibu lo nggak mungkin bunuh diri hanya karena ucapan anaknya. Rasanya terlalu janggal."
Seb tidak menjawab. Kerutan di keningnya menegaskan semuanya. Bahwa ia tidak suka mengingat kenangan buruk itu lagi.
"Elo pernah minta maaf sama ibu lo?"
"Gimana caranya?"
"Entahlah. Dalam mimpi. Atau datang ke makamnya."
"Aku nggak pernah mengunjungi makamnya."
"Itulah masalahnya, Seb. Elo takut berbaikan dengan masa lalu. Elo merasa lebih baik tetap merasa bersalah selama dua puluh tahun lebih, ketimbang menghadapi semua itu dan mengakhirinya. Elo mau tahu, apa saran gue dari semua problem ini? Tapi yang satu ini elo nggak bisa membayar siapa pun untuk membantu lo."
Seb mengencangkan rahangnya. "Apa?"
"Pergilah ke makam ibu elo, atau temui dia di mimpi. Ungkapkan semua yang nggak sempat elo katakan, hal-hal yang selama ini cuma tersimpan di dada lo. Elo boleh nangis, atau nggak juga nggak masalah, mungkin elo tipe yang lebih suka bersembunyi di dalam bathtub atau menyewa satu bioskop untuk diri lo sendiri buat menangis sepuasnya."
Seb tersenyum getir. "Aku nggak yakin itu ide yang baik."
"Seenggaknya elo bakal merasakan perubahan, Seb. Itu akan menjadi awal yang baru buat lo."
"Kamu terdengar seperti psikiater."
"Berarti gue nggak dibayar sia-sia donk?"
Kalimat 'bayar' itu membawa Seb kembali ke bumi, membuatnya sadar bahwa ia tidak boleh menilai Serra sempurna-sempurna amat.
Etta James mengakhiri lagunya. Jeda dua menit dan lagu itu berputar kembali.
Serra bergerak merapatkan tubuhnya kepada Seb. Setiap otot dan aliran darah Seb seketika itu bereaksi, bukan dengan cara yang ia inginkan. Seb merasa mual. Tangan kirinya yang mengamit pinggang Serra, serta tangan kanannya yang menggenggam jemari Serra, kini terasa lebih kaku dari batang pohon ratusan tahun. Siksaan itu menjadi kian nyata saat Serra mengangkat wajahnya.
"Lo tahu apa yang akan terjadi berikutnya, setiap kali adegan seperti ini muncul di film-film roman? Seharusnya kita udah mulai ciuman sekarang. Tapi gue nggak akan mengizinkan itu terjadi. Terlalu bahaya."
"Kenapa?"
"Karena sekali saja elo melakukan itu, elo bakal ketagihan dan nggak bisa lepas dari gue. Itu yang terjadi pada Bobby. Dan laki-laki lain di sepanjang pengalaman hidup gue. Percaya deh, elo nggak akan mau. Karena hal terakhir yang elo inginkan di dunia ini, adalah rasa kecanduan pada seorang anak sekolah yang bahkan belum boleh menyetir mobil sendiri."
Seb mengerjap kepadanya sebelum kembali menyiratkan sebuah tanda tanya besar.
"Tapi kalau elo menginginkan sebuah pelukan, gue nggak keberatan."
"Dan berapa banyak yang harus aku bayar?"
Serra tersenyum kepadanya. Senyum yang membuat Seb seperti terbangun dari mati suri dan membuatnya bertanya-tanya rasa apa gerangan yang kini bergelenyar di perutnya.
"Buat elo—" bisik Serrasebelum masuk ke dalam pelukannya. "—gratis."
BẠN ĐANG ĐỌC
Forgetting Not Forgotten
Lãng mạn[TERSEDIA DI TOKO BUKU] "Cinta bukan segalanya. Cinta itu ibarat kita meletakkan pistol di tangan seseorang dan percaya bahwa orang itu tidak akan menembak kita. Coba pikir, orang idiot mana yang mau seperti itu?" *** Sebastian Januardi memiliki seg...
Part 5
Bắt đầu từ đầu
