Seb mengangkat wajahnya memandangi Serra. Ia menantikan sebuah ekspresi lazim seperti simpatik atau kaget, atau mungkin cibiran panjang dan kutukan-kutukan bernada pedas, tetapi Serra hanya duduk bersilang kaki di hadapannya, mengunyah pelan makanannya tanpa suara. Keningnya tidak berkerut, matanya tidak membelalak, beberapa anak rambut jatuh ke dahinya dan membuat Seb sadar betapa muda penampilan lawan bicaranya ini.

Ada sesuatu yang membuat Seb tidak bisa berpaling dari Serra. Tatapan matanya yang tenang sekaligus menghipnotis, namun di saat bersamaan terasa hangat seperti percikan api.

"Les tenis? Anak kecil macam apa yang mengambil les tenis waktu SD?"

Seb melamun sejenak. Dari semua cerita yang ia lontarkan, Serra justru menanyakan hal yang satu itu? "Anak yang membenci les piano tapi harus tetap punya satu keterampilan khusus agar ayahnya nggak marah."

"Ya, tapi tenis?"

"Aku payah dalam berenang. Dan olahraga lainnya. Basically semua olahraga."

Lirikan mata Serra jatuh ke badan Seb. "Otot-otot elo nggak mencerminkan demikian."

"Karena seiring dengan waktu aku sadar aku harus punya kemampuan lebih. Aku melatih diriku untuk mahir dalam segala hal. Olahraga, pelajaran di sekolah—"

"Jadi setelah itu elo jadi master dalam semua olahraga, punya tubuh seperti dewa Yunani, masuk sekolah bisnis bergengsi dan jadi pengusaha sukses? God. Apa elo nggak pernah capek?"

Seb tercenung sesaat.

"Elo manusia kan? Kenapa hidup seperti robot?" Tatapan Serra menuruni penampilan Seb mulai dari rambut ikalnya yang disemir rapi, hingga tubuh atletisnya yang terbalut kemeja dan jas kerja. Dia mendecak singkat sambil meletakkan mangkuk makanannya ke atas meja. Lalu berhambur ke tempat Seb dan meletakkan tangannya di jas kerja Seb. "Elo tahu apa yang salah dari diri elo, James Bond?"

Serra melonggarkan jas mahal itu dari bahu Seb hingga terlepas, lalu melemparkannya begitu saja ke lantai.

"Elo sama sekali nggak kelihatan hebat, sebaliknya, elo kelihatan seperti orang kurang vitamin. Otot-otot ini barangkali bisa menipu semua orang, begitu juga CV elo dan semua piala di lemari kerja lo, tapi mata elo nggak bisa. Kapan terakhir kalinya elo merasa bebas? Atau mengizinkan diri elo untuk bebas?"

Seminggu lalu saat ia memutuskan untuk naik bus. Tapi Seb tidak menjawab.

"I see." Serra menanggapinya dengan senyuman kecil.

Jari-jemarinya yang luwes kini bergerak melepaskan dasi yang mengikat leher Seb, lalu disusul satu kancing kemeja teratasnya. Seharusnya Seb merasa jadi mudah bernapas, tapi sebaliknya ia malah merasa sesak.

Masih sambil memandangi kedua mata Seb, Serra beranjak sedikit demi sedikit meninggalkan Seb di sofa dengan menggenggam telapak tangan Seb untuk memaksanya bangun.

Seb mengikutinya sampai ke tengah ruang tamu, terdiam tidak melawan saat gadis itu meliuk ringan di bawah lingkaran tangannya, berputar di sana dan berhenti di depan dadanya. Ia juga tidak melawan saat satu tangannya yang kaku diambil dan diletakkan di pinggang gadis itu. Kakinya bergerak satu-dua-satu-dua seperti robot saat mengikuti irama yang dilantunkan Etta James, dan ia gagal mengingat kapan pertama dan terakhir kalinya Alice berhasil membujuknya untuk dansa. Tidak pernah.

"Tahu nggak, apa yang harus elo lakukan untuk merasa lebih baik, lebih hidup? Lakukan sesuatu yang nggak pernah elo bayangkan. Tanggalkan jas mahal ini, jangan cukuran di pagi hari, lupakan kopi hitam dan sekali-kali makan junkfood dengan tangan kosong. Pergi ke konser musik, menyetir di malam hari, tanpa tujuan, dengan lagu yang nggak pernah elo dengar,  adopsi anjing-anjing terlantar di shelter hewan, atau sekadar mencoba berenang telanjang di pantai. Elo akan merasa jauh lebih baik setelah mencoba hal-hal gila itu, elo akan merasa lebih manusia. Lakukan hal-hal gila itu, Seb, seperti saat elo mencoba naik sembarang bus dan akhirnya bertemu gue."

Forgetting Not ForgottenWhere stories live. Discover now