Mulai mengunyah. Dan mengunyah lagi. Lumayan. Sebenarnya, ini enak sekali.

Lengkungan alis Seb membuat gadis itu tersenyum puas. "Gue bilang juga apa. Enak kan?"

"Apa sih, ini?" Seb mengambil benda-hijau-aneh itu dan mengunyahnya. Rasanya berbaur dengan keju dan saos dan entah apa lagi yang tercampur di dalam mangkuk.

"Namanya zucchini. Dan yang elo makan itu adalah campuran nasi sisa kemarin, keju mozzarella, telur, saos tomat, bayam, margarin, garam, dan sedikit olive oil. Tenang, gue akan memasukkan semuanya ke dalam tagihan lo besok. Bersama bayaran untuk sesi terapi dan satu jam istirahat."

"Aku sudah bilang, kamu bisa mengambil berapa pun dari kartu ATM-ku. Pinnya—"

"123456." potong Serra sambil tersenyum.

Untuk beberapa saat lamanya mereka hanya makan tanpa suara. Seb yang sama sekali tidak menyangka perutnya ternyata lapar, menghabiskan makanannya lebih cepat dari Serra. Ia ingin meminta lebih tapi rasanya terlalu gengsi. Jadi ia memutuskan untuk menuntaskan rasa lapar dengan menenggak bir.

Serra menyilangkan kedua kakinya di atas sofa dan terdiam mengamati Seb. "Kenapa elo butuh pil tidur?"

"Karena itu lebih ampuh dari obat batuk. Aku hanya meminumnya kalau butuh."

"Misalnya?"

"Misalnya kalau ada rapat penting besok dan aku harus mengosongkan kepalaku dengan tidur. Atau misalnya kalau aku sedang ingin tuli dari semua dering telepon dan pesan yang masuk dari Alice."

"Memangnya elo nggak bisa ngobrol sama ibu elo?"

"Ibuku sudah meninggal. Aku sudah pernah bilang waktu pertama kali kita bertemu."

"Sori. Gue lupa."

Seb menanggapi gelengan kepala Serra dengan embusan napas pendek. "Nggak pa-pa." Ia mulai tidak menyukai arah pembicaraan ini, tapi ia tahu Serra tidak akan berhenti.

"Kapan ibumu meninggal?"

Dan herannya Seb tidak segera mengganti topik. "Waktu aku masih tujuh tahun. Kamu pernah baca berita tentang kematian Rosa Januardi?"

Serra menggeleng.

"Media mengabarkan bahwa dia meninggal karena sakit kanker. Tapi sebenarnya dia meninggal karena bunuh diri."

Keceriaan di wajah Serra menghilang.

"Sebelum meninggal, ibuku hidup seorang diri selama bertahun-tahun di rumah pengasingan yang dibuat ayahku. Rumah yang dibuat untuk menjauhkan dia dari anak-anaknya."

"Kenapa?"

"Karena berniat cerai." Seb terdiam lama. "Lalu di hari-hari terakhir hidupnya, ibuku punya satu permohonan sederhana, dia ingin aku datang menemuinya. Aku bilang padanya aku nggak bisa, aku nggak mau, dan aku nggak akan datang, lalu aku juga bilang ... bahwa sekalipun dia mati, aku nggak akan peduli."

Seb mendengar Etta James terus bernyanyi di ruangan ini. Lantang dan merdu. Tetapi tidak ada yang bisa mengalahkan suara detak jantungnya yang menangis kencang. Dadanya seperti diremas. Sesak dan sakit.

Namun, entah mengapa ia tidak bisa berhenti.

"Aku membencinya saat itu. Aku nggak ngerti kenapa. Mungkin karena ayahku menghabiskan waktu selama enam tahun untuk mencuci otakku agar membencinya, dan berhasil, atau mungkin juga karena aku mengimpikan sosoknya berada di sisiku saat aku kecil dan kesepian, aku butuh sosoknya sebagai tempat untuk mengadu dan dia nggak pernah ada, jadi aku membencinya. Entahlah."

Seb meneguk lagi birnya. Kali ini sampai habis.

"Keesokan harinya staf rumah menelepon dan bilang ibuku meninggal. Dia bunuh diri dengan pistol. Aku lagi les tenis saat itu, ayahku sedang rapat di luar kota, dan Sofie masih terlalu kecil untuk tahu apa pun. Lalu ayahku mengumpulkan beberapa staf untuk membuat upacara pemakaman, dan mengutus pembantu rumah untuk membawa aku dan Sofie pergi makan es krim. Kami nggak pernah hadir di pemakamannya. Sampai sekarang."

Forgetting Not ForgottenWhere stories live. Discover now