Tawa renyah itu muncul lagi, diselipin beberapa potong keju yang masuk ke mulutnya. "Gue lagi flu berat, jadi butuh orang buat merawat gue."

"Sementara om-ommu itu bersenang-senang di Bali bersama istrinya."

"Sebenarnya itu kabar baik, Seb. Gue lebih senang bebas ketimbang harus melayani dia setiap hari."

"Tapi lihat apartemen ini. Dia benar-benar mencurahkan semua cintanya buat kamu. Kamu yakin nggak jatuh cinta?"

Tawa menyembur keluar dari mulut Serra. Dia berbalik sebentar untuk mengambil pisau dari lemari dapurnya dan mulai mengiris sesuatu yang Seb tidak tahu, sejenis timun atau acar.

"Sebenarnya gue benci apartemen ini. Bosan, rasanya kayak ayam yang terkurung di dalam kulkas. Gue sering membayangkan betapa asiknya kalau ada satu meja billiard besar di tengah ruangan. Dan asal elo tahu, keran air di wastafel ini sering ngadat."

Seb mengernyit bingung. "Meja billiard?"

"Atau meja mahjong. Sesuatu yang absurd dan bakal membuat pacar gue terkena serangan jantung."

"Kamu sendiri sudah sangat absurd."

"Thanks. Tapi pacar gue itu benci kejutan. Lucu ya? Seseorang yang benci kejutan dan selalu bersembunyi di balik zona nyamannya, memutuskan untuk mendekati anak SMU yang dia temui di sebuah konser musik yang disponsori perusahaannya, karena sekadar penasaran."

"Apa pacarmu yang benci kejutan tapi selalu penasaran itu punya nama?"

"Kenapa sih, elo harus selalu tahu nama semua orang?" Serra berhenti sebentar untuk menoleh padanya. "Bobby. Gue manggil dia Bobby karena wajahnya mirip sama anjing gue yang mati beberapa tahun lalu."

"Nama aslinya?"

"Cukup Bobby aja."

Saat gadis itu kembali mengiris sayurannya, Seb menimbang-nimbang kalimat berikut. Biasanya ia akan menahan diri, atau bersikap tidak peduli karena pada dasarnya ia memang tidak pernah peduli pada hidup orang lain, tapi kali ini ia tergelitik. "Orang-tuamu tahu tentang ini?"

Masih sambil mengiris sayuran aneh itu, Serra menggeleng. "Menurut lo?"

"Orangtuamu sudah meninggal?"

"Masih hidup dua-duanya. Tapi kalau elo nggak keberatan, gue lebih suka kita nggak bahas soal ini." Serra menuangkan benda hijau itu ke dalam mangkuk. Dia menyelipkan telunjuknya ke mulut untuk menyesap sisa rasa di sana, sambil memandangi Seb dengan kedua mata jernihnya yang besar. "Waktu terus berjalan, Seb, ingat kalau elo cuma punya waktu satu jam di sini. Bukan gue loh, yang butuh istirahat."

"Oke." Seb menyandarkan kepalanya di bantalan sofa dan memejamkan mata. Untuk beberapa menit kemudian tubuhnya mulai rileks dan kepalanya mulai terasa ringan. Tapi sebelum alam mimpi menjemputnya, bunyi alarm  microwave membangunkannya dan aroma lezat dari apa pun yang sedang dimasak Serra menggoda penciumannya.

"Apa itu?" Seb menatap nanar pada mangkuk makanan yang dibawa Serra ke tempatnya.

"Menu-Campur-Campur-Asal-Enak-Dan-Nggak-Bikin-Sakit-Perut." Gadis itu meletakkan satu mangkuk ke atas paha Seb, tidak lupa botol Heineken-nya yang masih dingin.

"Lebih terlihat seperti Menu-Makanan-Bayi-Yang-Nggak-Layak-Dimakan."

Serra mengedik cuek sambil menyuapi satu sendok besar ke dalam mulutnya. Gerakan matanya menusuk Seb seolah sedang menantinya melakukan hal yang sama. Dengan berat hati Seb menunduk lagi, menatap tragis ke dalam mangkuknya yang berisi tumpukan makanan aneh dengan taburan keju dan benda-hijau-aneh. Ia mengambil satu sendok dan menyuapinya ke dalam mulut.

Forgetting Not ForgottenWhere stories live. Discover now