"Kami resmi bertunangan."
Gadis itu terbelalak menatap kedua matanya, lalu tawanya meledak. "Congratulation! Kalian akan memenuhi bumi ini dengan bayi-bayi yang lucu. Gue ikut senang! Jadi ini alasannya elo memilih naik bus ketimbang naik mobil, karena elo butuh ditemani sesama orang stres?"
"Kurang lebih."
"Bagian mana yang kurang dan bagian mana yang lebih?"
"Aku nggak menginginkan pernikahan apalagi bayi. Dan ya, aku ke sini untuk mencari sesama orang stress kayak kamu."
"Terus terang, dan nggak suka basa-basi. Oke. Gue suka tipe manusia kayak lo, Sebastian Januardi."
"Jadi, tolong beritahu aku satu keburukanmu, supaya aku bisa merasa lebih baik."
"Hem." Gadis itu tersenyum lagi. "Apa akan membuat lo merasa lebih baik, kalau gue bilang hari ini gue belum mandi? Dan gue suka ngambil tester gratisan di swalayan, karena gue males keluar duit dan punya prinsip nggak mau rugi?"
Seb berusaha menjaga mimik wajahnya sedatar mungkin agar gadis itu tidak melihatnya sedang menahan tawa. Perasaannya membaik. Sangat amat membaik. "Boleh aku datang ke rumahmu?"
"Wow." Tawa renyah gadis itu berubah menjadi senyuman bingung. "Excuse me?"
"Aku nggak suka bertele-tele. Jadi aku langsung aja, aku boleh datang ke rumah kamu?"
"Kalau stress, elo lebih butuh psikiater daripada anak SMA."
"Aku lagi nggak pengin pulang. Dan jelas aku nggak suka tidur di mobil. Aku hanya ingin beristirahat sebentar di rumah kamu."
"Gue nggak tinggal di rumah. Ingat? Gue tinggal di apartemen yang dibeliin pacar gelap."
"Dia ada di sana?"
"Nggak. Lagi liburan ke Bali sama istrinya. Lima hari lagi baru pulang."
"Perfect. Aku akan membayarmu. Berapa pun bayarannya, sebutin aja."
"Om, elo bisa jadi siapa aja, maniak, psikopat, pemerkosa, atau pecandu film porno yang diam-diam tertarik sama anak SMA."
"Percayalah, aku cuma butuh tempat istirahat."
"Elo rela bayar berapa pun demi masuk ke apartemen gue?"
"Sebutin aja berapa bayarannya. Atau gini aja, aku akan memberimu kartu debit, pinnya 123456, silahkan kamu pakai berapa pun kamu mau."
Gadis itu menimbang-nimbang sejenak. "Oke."
"That's fast."
"Satu orang asing ingin menumpang istirahat di apartemen yang mana bukan milik gue, dengan iming-iming kartu debit bebas pakai, why not? Dan, Seb, orang tolol mana yang memasang nomor pin mereka 123456?"
Seb baru saja hendak membuka mulutnya tapi gadis itu sudah kembali bicara.
"Tapi gue punya syarat. Elo nggak boleh tinggal di sana lebih dari satu jam, ini serius, karena gue harus belajar buat ujian Matematika besok."
Seb tersenyum tipis. Astaga, ia lupa gadis itu masih anak sekolahan. "Masih mendengar Etta James?" Tanyanya sambil melirik layar iPhone gadis itu.
"Connie Francis." Jawab si gadis bangga.
Ya ampun ... apa dia benar-benar masih 17 tahun? "Setidaknya beritahu aku namamu."
"Mau bayar berapa kali ini?"
"Apa kamu harus selalu melibatkan uang?"
"Kayak yang elo bilang tadi, Om; siapa sih yang nggak suka uang?"
Seb tersenyum. "Tahu, nggak? Untuk usia semuda ini, kamu punya bakat bisnis yang luar biasa. Aku sudah memberimu kartu debit. Terserah kamu mau ambil berapa."
"Oke." Gadis itu mengangguk seraya mengulurkan tangannya. "Serra. My name ... is Serra Agatha, Sir."
Seb menyambut uluran tangannya. Serra Agatha. Ia merapal nama itu baik-baik ke dalam kepalanya. Seb bukan tipe orang yang mudah melupakan nama orang, tapi untuk sekali ini ia benar-benar ingin memastikan ia hafal mati dengan nama itu. Sesuatu mengatakan—mungkin intuisi—bahwa nama itu akan menjadi penting bagi dirinya. Sangat penting.
"Tanpa bermaksud merusak suasana hangat dan chemistry indah yang baru saja tercipta di antara kita ... boleh gue minta kartu debitnya dulu? Sekadar memastikan elo nggak bohong."
Seb tersenyum tipis sembari mengeluarkan dompetnya. "Tentu. Lagipula Ayahku selalu mengajariku satu hal penting saat terjun ke dunia bisnis : hargai klienmu, dan kalau bisnis itu menguntungkan, pastikan dia nggak lari."
"Mm-hmm. Lalu apa ayah elo lupa ngajarin elo, untuk jangan terlalu percaya sama orang asing apalagi kalau dia masih di bawah umur dan belum bisa membeli minuman alkoholnya sendiri? Sedikit tip, Sebastian Januardi, jangan terlalu gampang kasih kartu ATM elo ke orang lain."
"Aku punya firasat kamu lebih dari itu, Kiddo."
"Semoga elo nggak salah."
Gadis itu menatapnya tanpa berkedip. Saat itulah Seb sadar dia memiliki sepasang mata jernih yang teramat indah. Sesuatu dari gadis itu, auranya, pembawaannya yang tenang dan cerdas, senyumannya yang terkadang ramah namun juga ketus, membuat Seb semakin mengukuhkan pendiriannya bahwa ada sesuatu yang lebih dari gadis ini, yang membuatnya bukan sekadar anak SMU materialistis yang ingin uang untuk membeli iPhone model terbaru.
"Udah puas natapnya, Paman?"
"Jangan panggil aku paman."
"Oke, Om."
"Juga jangan panggil aku om."
"Baiklah, Orang Kaya Stres Yang Telah Menyumbang Banyak Uang Untuk Masa Depanku."
"Aku punya firasat kita akan menjadi akrab."
"Hati-hati." Serra Agatha tersenyum tipis. "Kalau terlalu akrab, elo bisa ketagihan."
ESTÁS LEYENDO
Forgetting Not Forgotten
Romance[TERSEDIA DI TOKO BUKU] "Cinta bukan segalanya. Cinta itu ibarat kita meletakkan pistol di tangan seseorang dan percaya bahwa orang itu tidak akan menembak kita. Coba pikir, orang idiot mana yang mau seperti itu?" *** Sebastian Januardi memiliki seg...
Part 4
Comenzar desde el principio
