Beberapa anak kecil terbatuk-batuk di kursi depan. Seorang ibu tertidur lelap di bangku tengah, memeluk tas bawaannya yang berisi rambutan. Bapak tua berwajah lelah berdiri menelepon anaknya, sambil sesekali tertawa dan menguap. Tiga anak muda saling berjejeran di tengah, sibuk menundukkan kepala memainkan ponsel.

Lalu Seb melihatnya.

Gadis itu duduk satu bangku lebih depan dari tempat mereka dulu. Dua earphone tersumbat di telinga, mata kosong menatap keluar jendela, dan rambut kusut yang tergerai bebas ditutup topi Yankees putih. Itu sungguhan dia. Seb termangu di tempat, tak ubahnya seperti melihat hantu.

Seminggu lebih ia menumpang di bus bau ini demi mencarinya. Seminggu lebih pula ia meradang. Lalu sekarang saat gadis itu benar-benar muncul di hadapannya, Seb hanya terpaku di tempat.

Seb berdeham sambil mengumpulkan semua keberaniannya untuk menghampiri tempat itu. Ia melangkah ke sana, lalu berdeham kepada wanita yang duduk di sebelahnya. "Saya mau duduk."

Ibu itu, dan juga si gadis misterius penggemar Etta James yang tidak diketahui namanya itu, mendongak bersamaan kepadanya. Si ibu terlihat risi. Sementara si pendengar Etta James terlihat kaget namun tersenyum.

"Saya sudah duduk di sini duluan. Situ berdiri aja. Susah amat." Cetus si ibu.

Seb merogoh dompet dari saku celananya, mengambil tiga lembar uang kertas seratus ribu dan menyodornya tanpa basa-basi kepada si ibu. "Segini cukup?"

Ibu berpakaian blazer hitam itu tercengang tanpa suara.

"Oh," Seb mengambil dua lembar lagi, "Kalau segini?"

"Di depan masih ada bangku kosong!"

Seb kembali menarik dua lembar lagi. Lalu mengurungkan niatnya. Ia menarik lima lembar. "Cukup?"

Ibu itu mendecak kesal—sekedar pura-pura—lalu sedetik kemudian dia menyambar semua uang dari tangan Seb. Masih dengan wajah yang dibuat-buat cemberut, dia bangkit dari kursinya dan berpindah ke depan.

Seb menghempaskan tubuhnya ke bangku reyot itu, menarik napas dalam-dalam sambil merenggangkan dasinya.

Ia bisa mendengar suara tawa kecil di sebelah. "Baru pulang dari konferensi Asia-Afrika?"

"Aku selalu berpakaian seperti ini. Lebih profesional."

"Untuk membunuh orang atau untuk menagih pajak?" Gadis itu mengulum senyum.

"Aku berurusan dengan banyak orang penting dan rapat—"

"Enggak perlu diterusin." Gadis itu tertawa sambil mengangkat telapak tangannya untuk Seb. "Gue cuma bercanda. Elo selalu seserius ini, ya?"

Seb menyimpan kembali dompetnya tanpa menjawab.

"Jadi, elo selalu menggunakan uang untuk mendapatkan apa yang elo mau?" Gadis itu mendelik kepada wanita bekas teman duduknya yang kini tertidur manis di bangku depan.

"Ya. Karena siapa yang nggak suka uang?"

"Make sense. Tapi lama-lama semua penumpang di bus ini bakal jadi kaya."

"Hanya yang duduk di sebelah kamu."

"Kenapa sih, elo nggak naik mobil pribadi aja? Parfum mobil lo pasti nggak beraroma ketiak dan napas orang lain kan?"

Seb menolak memberi alasan yang sebenarnya. "Ngomong-ngomong, kamu kelihatan pucat."

Gadis itu mengangguk singkat lalu mengusap hidungnya. "Lagi pilek." Lalu menilai penampilan Seb sekali lagi. "Terlepas dari jas Hugo yang kelihatan mahal itu, sebenarnya elo kelihatan kacau banget. Apa yang terjadi? Si pacar udah sembuh dan mutusin elo?"

Forgetting Not ForgottenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang