Namun, ketika Tan memintanya merapat ke samping Alice di ranjang, firasat Seb mengatakan sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi.
Sesuatu yang sama mengerikannya dengan mimpi buruk tadi.
Pertunangan.
Lucunya, saat firasatnya terbukti benar dan jadi kenyataan, ia tidak lagi terlalu kaget. Ia tersenyum pada mereka yang mengucapkan selamat kepadanya, ia menyambut pelukan dari Sofie dan kedua orang-tua Alice, bahkan membalas tatapan mesra Alice yang berkaca-kaca.
"Saya tahu ini adalah keputusan terbaik buat mereka berdua. Seb juga tidak muda lagi. 27 tahun sudah cukup umur untuk menikah. Dan saya yakin kesehatan Alice juga akan pulih secepatnya. Lalu apa lagi yang harus kita tunggu? Benar kan, Seb?"
Seb mengalihkan pandangannya kepada Tan dan tersenyum datar. Jenis senyuman yang biasa ia lemparkan kepada rekan bisnis saat mereka mengajukan proposal.
"Aku akan bantu mencari vendor dan segala macamnya. Kalian tidak perlu khawatir pokoknya cuma tahu beres. Aawww aku seneng banget. Congrats ya." Sofie menghambur ke dalam pelukannya, lalu berpindah pada Alice dan melakukan hal yang sama.
Robert datang menepuk pundaknya. "Bukannya mau terburu-buru, Seb, tapi kalian sudah pacaran lama, kita sebagai orangtua tentu berharap yang terbaik untuk masa depan kalian. Selamat ya."
Lidya menimpali. "Ini benar-benar kabar baik. Kami tidak sabar lagi ingin menimang cucu."
Semua orang tertawa. Seb mencoba tertawa, hanya untuk meredam rasa mual yang sedang mengguncang perutnya. Pernikahan. Anak. Neraka. Oh, tunggu dulu, bukankah ia memang sudah tinggal di neraka sedari dulu?
Pandangannya mengedar ke segala arah, berharap ia mampu menemukan satu titik netral yang bisa membuatnya lepas dari kegilaan ini. Pikirannya semrawut. Semua suara tawa ini terdengar memekakkan.
Kenapa ia membiarkan dirinya terjebak dalam sandiwara ini?
***
PUKUL sepuluh malam dan Seb masih mengisap sisa rokok terakhirnya di gerbang rumah sakit. Ia sengaja menyingkir sejauh mungkin dari semua orang. Keluarga Alice sudah pulang sejam lalu, tetapi Sofie dan Tan masih di dalam. Mungkin membahas pernikahan impian abad ini.
Masih terngiang di kepalanya apa yang dikatakan Tan beberapa jam lalu. Tak peduli seberapa pun kuatnya Seb untuk pura-pura cuek dan tuli, atau mati rasa seperti yang biasanya ia alami selama ini, kalimat itu menghunjamnya tanpa ampun.
Kalian berdua akan menikah, dan hubungan kekeluargaan di antara keluarga kita dengan mereka akan semakin menguat. Jangan lakukan kesalahan bodoh, atau hidupmu tidak akan pernah seenak ini lagi. Anggap saja aku sedang berbaik hati padamu, Nak.
Persetan. Seb membuang puntung rokoknya ke sembarang tempat. Di saat bersamaan, cahaya yang menyilaukan datang menyapu pandangannya dari jauh. Seb mengerjap beberapa kali, samar-samar menangkap bayangan bus yang melaju ke arahnya.
Bus itu lagi.
Ia sudah lelah melakukan hal bodoh berulang kali. Tapi kali ini ia akan membuat pengecualian, karena toh naik atau tidaknya ia ke dalam bus itu, hidupnya tetap kacau.
"Hei! Tunggu!" Seb berlari kencang mengejar bus yang sudah mengangkut semua penumpang.
Bus itu semakin melaju dan Seb berteriak sekali lagi. Kali ini kendaraan yang tak ubahnya seperti besi rongsokan itu berhenti dengan suara decit kencang. Seb melompat ke dalam. Napasnya tersengal dan rambut ikalnya berantakan.
Semua orang yang berjejal di dalam bus memandanginya dalam diam. Mungkin karena penampilannya yang terlalu necis untuk menumpang bus. Mungkin wajahnya yang familiar dan sering muncul di TV. Atau mungkin mereka hanya kesal karena Seb membuat sopir bus menginjak rem mendadak.
YOU ARE READING
Forgetting Not Forgotten
Romance[TERSEDIA DI TOKO BUKU] "Cinta bukan segalanya. Cinta itu ibarat kita meletakkan pistol di tangan seseorang dan percaya bahwa orang itu tidak akan menembak kita. Coba pikir, orang idiot mana yang mau seperti itu?" *** Sebastian Januardi memiliki seg...
Part 4
Start from the beginning
