Seb hanya menjawab dengan satu desahan pendek dan mengubah keramahan ibu itu menjadi canggung. Lalu ia membuang muka dan menghabiskan sisa perjalanan dalam diam.

***

HARI berikutnya Seb melakukan hal yang sama. Menemani Alice, menunggu di bus. Dan lagi-lagi gadis itu tidak kunjung muncul.

Hari ketiga, hal yang sama.

Hari keempat, rutinitas yang sama. Seb mulai merasa bosan. Sekaligus tolol.

Hari kelima, kali terakhirnya Seb kembali mencari gadis tanpa nama itu. Ia tidak berharap banyak. Dan memang ia tidak mendapatkan apa-apa.

Hari keenam, ia hanya menemani Alice.

Hari ketujuh, juga Alice.

Hari-hari berikutnya hanya Alice.

Mungkin gadis itu tidak akan pernah muncul lagi. Mungkin lebih baik dia tetap menjadi misteri, menjadi seorang asing di luar sana yang diam-diam menyimpan rahasianya.

Mungkin ...

***

SEBASTIAN, kemari, Sayang ... Kamu habis main air? Ya ampun, basahnya. Ayo ganti baju dulu. Sini Ibu bantu gantikan bajumu.

...

Seb, dengarkan Ibu ... Ibu akan pergi dari rumah. Ibu tidak bisa membawa kamu dan Sofie, tapi kalian akan baik-baik saja.

......

Kamu jaga diri baik-baik, ya? Jaga Sofie juga.

..........

Sebastian, bagaimana kabarmu, Nak? Sini biar Ibu pegang kamu. Mendekatlah.

.............

Sebastian, kenapa kamu berdiri di situ? Tidak apa-apa, kemari ... ini Ibu, Sayang.

..................

Sebastian, kenapa kamu tidak datang kemarin? Ibu kangen sama kamu. Mendekatlah ....

............................

... begitu bencikah kamu terhadap Ibu?

"Kakak? Kakak."

"Hhh!"

Seb melonjak kaget dari tidurnya. Sebuah tangan mungil menangkap bahunya sebelum ia sempat memberontak. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah khawatir Sofie, lalu ia mengedar pandangannya ke sekeliling dan sadar ia tertidur di koridor rumah sakit.

"Mimpi buruk?" Sofie duduk di sebelahnya, memandangi wajah Seb yang berkeringat di ruangan AC begini. "Ini kopinya."

"Thanks." Seb mengambil cangkir kopi hitam dari tangan Sofie. Ia sengaja menghindari tatapan Sofie agar gadis itu berhenti menanyakan hal yang sama. "Ayah sudah datang?"

"Ada di dalam kamar. Bagaimana kondisi Alice? Aku belum sempat masuk."

"Semuanya oke. Tangannya masih digips, tapi operasi tulang kakinya berhasil dan dokter bilang ia sudah boleh pulang besok lusa."

"Thank God. Kamu pasti lega sekali."

"Pastinya, aku sudah nggak sabar kembali ke kantor." Ia berhenti sebentar karena sadar telah salah bicara. Sofie dibuatnya terbengong-bengong. "Maksudku, ya, aku senang Alice bisa pulang. Kamu mau masuk ke dalam?"

Mereka meninggalkan ruang tunggu untuk masuk ke dalam kamar rawat Alice. Di sana sudah berkumpul kedua orang-tua Alice dan Tan Joseph Januardi, semuanya tertawa lepas dan terlihat bahagia, entah apa yang sedang mereka bicarakan.

Forgetting Not ForgottenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang