Tapi nyatanya Seb tidak merasakan apa-apa.
Lalu setelah puas menumpahkan semua kemarahannya, Alice akan kembali menangis dan menggenggam tangan Seb, memintanya untuk memperbaiki hubungan mereka. Ia akan menguraikan ratusan kalimat tentang betapa dalam cinta yang ia rasakan, tentang betapa indahnya hubungan yang telah mereka bina selama tiga tahun ini, dan ia akan bilang ....
"Aku nggak mau pisah. Aku terlalu sayang sama kamu, Seb ...."
Setelah itu mereka akan berpelukan—biasanya berciuman tapi kali ini bibir Alice terlalu bengkak untuk dicium—dan Alice akan kembali bertingkah manis selayaknya putri dari dunia Disney. Lalu apa yang akan tersisa bagi Seb?
Rasa lelah luar biasa.
Lelah memainkan peran seperti ini selama bertahun-tahun. Lelah berkutak di balik ketiak Tan Joseph Januardi. Dan lelah akan segalanya. Lelah menjadi bodoh. Lelah menjadi kebal terhadap rasa apa pun. Lelah akan rasa haus sebuah pelepasan.
"Kamu kurang tidur lagi?"
Seb mengangkat wajah untuk memandangi Sofie yang kini duduk di hadapannya di sebuah meja bundar coffeeshop. Ia mengerjap berkali-kali seperti orang linglung. Disorientasi karena baru beberapa jam ia meninggalkan rumah sakit setelah Alice tidur, dan kini ia sudah duduk di kedai kopi bersama adiknya.
Kadang Seb merasa ia seperti robot yang tinggal dalam tubuh manusia. Ia tidak hafal ritme hidupnya. Ia tidak ingat aktivitas-aktivitasnya sendiri. Manusia dengan tubuh tanpa nyawa.
"Seb? Hallo?" Sofie mengibas tangannya di depan wajah sang kakak. "Astaga, kamu nggak tidur semalaman?"
"Aku tidur." Seb menggosok kedua matanya.
"Jenis tidur yang berkualitas, atau tidur dengan bantuan obat?"
Seb mengangkat cangkir kopi dan menyesapnya perlahan, lalu tersedak kaget. Ia bahkan tidak ingat telah memesan kopi latte. Sejak kapan ia jadi penikmat kopi banci begini? Ia selalu memesan kopi hitam tanpa gula, tidak kurang tidak lebih.
"Sepertinya sebentar lagi aku akan gila." Gumamnya pelan.
Sofie mengulurkan tangannya untuk menggenggam Seb. "Kamu cuma butuh istirahat. Ayah bilang kamu masih datang ke kantor hari ini. Seriously, Seb? Setelah semuanya, kamu masih punya gairah untuk kerja?"
"Ngomong-ngomong, kenapa aku bisa memesan latte?"
"Aku yang pesan buat kamu. Kamu harus menghentikan kebiasaan minum kopi hitam karena akan membuatmu susah tidur." Sofie menunduk untuk mencari kedua mata Seb. Seperti biasa dia tahu kakaknya itu akan menghindar. Kakaknya bukan tipe manusia yang bisa bercakap-cakap mesra sambil memandangi lawan bicaranya dengan hangat. Ia kaku, dingin, dan selalu menjaga jarak. Kadang Sofie berharap untuk sekali saja Seb bersedia menemui therapy.
"Kak." Sofie mengambil sesuatu dari dalam tas-nya. "Aku punya sesuatu buat kamu."
Seb mengamati secarik amplop putih yang baru saja disodorkan Sofie. "Kalau ini tiket pesawat untuk liburan atau semacamnya, aku nggak tertarik." Saat ini ia lebih membutuhkan pil tidur dengan dosis lebih tinggi.
"Much better." Senyum sumringah terbit di bibir Sofie. "Kamu akan jadi uncle."
"Aku nggak—" Seb mengernyit. "—mengerti."
Tentu saja ia mengerti. Secepat kilat ia merampas amplop itu dan merobeknya hingga terbuka. Sofie terkikik saat melihat kakaknya memandangi foto USG hitam putih yang kini terpampang di depan matanya. Kakaknya sangat tampan, tapi ia bakal lebih tampan lagi kalau saja ia mau sering tersenyum. Sudah lama sekali Sofie tidak melihat kakaknya tersenyum. Mungkin saja foto usg bakal calon keponakannya bisa sedikit memberinya satu alasan untuk tersenyum.
"Sofie, you're pregnant." Seb memelotot tak percaya padanya.
"Yup!" Sofie terkikik lebih girang lagi. "Can you believe it? Aku, jadi ibu?"
Kepala Seb menggeleng-geleng cepat. Mulutnya ternganga lebar, lalu dalam sekejap mata ia mendorong kursinya dan meraih Sofie ke dalam pelukan. Tawa keduanya pecah.
Sofie tertawa di dada Seb, menepuk-nepuk punggungnya yang lebar. "Sudah kuduga kamu akan senang, Uncle Seb."
"Andre sudah tahu soal ini?"
"Belum. Bahkan Ayah juga belum. Kamu yang pertama tahu."
Seb melepaskan pelukannya untuk menatap Sofie. Ia mencengkeram kedua bahu Sofie dan meremasnya dengan lembut. "Adik kecilku akan segera jadi mommy."
Rasa-rasanya baru kemarin Sofie menangis cengeng hanya karena rambut bonekanya tidak bisa disisir, atau pulang ke rumah dalam keadaan kaki kotor akibat melompat-lompat di lumpur sehabis hujan. Dan sekarang dia akan menjadi seorang ibu.
"Selamat tinggal liburan panjang dan tidur lelap, selamat datang kantung mata dan daster rumahan."
"Kamu akan tetap luar biasa."
"Apa pun nanti yang terjadi, aku akan tetap senang. Oh God, Seb ... andai saja Ibu masih hidup dan melihat semua in—" Sofie terkesiap dan segera mengatup bibirnya. Ya ampun dia salah bicara. Kenapa dia bisa setolol ini? Senyuman yang tadi hampir saja terbentuk di bibir Seb langsung lenyap tak berbekas. Kehangatan yang baru saja terbangun kini hancur berantakan.
Dan benar saja, remasan di kedua bahunya langsung mengendur saat Seb menarik tangannya dari situ. Wajah tampannya kembali berubah datar. Tatapannya yang tadi sempat berbinar kini hampa seperti biasanya.
"Seb." Sofie menyentuh lengannya sebelum Seb kembali beranjak ke kursi. "Sudah lama Ibu meninggal. Sudah saatnya kamu melupakan semua itu."
"Maksudmu melupakan kematian Ibu, atau melupakan bahwa aku mengucapkan kalimat yang menyakitkan hatinya sebelum ia bunuh diri?"
"Semuanya. Semua yang kamu simpan di sini," tangan Sofie sampai di dada Seb, "kamu menyimpan kanker untuk dirimu sendiri, Kak. Jangan biarkan rasa bersalah itu menguburmu hidup-hidup."
"I'm fine, Sofie."
"No, you're not. Aku kangen dengan kakakku yang dulu."
Seb duduk kembali ke kursinya, mengangkat gelas kopi latte-nya dan meneguk setetes. "Kopinya terlalu manis."
Sofie termangu diam di tempat. Dipandanginya kertas USG bayinya yang kini tergeletak begitu saja di atas meja, seperti secarik kertas tidak penting yang tidak dihiraukan Seb. Hatinya mencelos sakit. Perasaannya meradang. Dan sekuat tenaga dia menahan desakan panas yang kini mengambang di kelopak matanya. "Kak ...."
Seb mendongak. "Hem?"
"Bisakah ... kita membicarakan soal itu?"
"Aku benar-benar nggak suka latte ini."
"Kak ...."
"Bisakah kita memesan kopi lain?"
Sofie terpaku diam seraya menggigit bibirnya. Bodoh sekali dia, mengira Seb akan sudi menceritakan mimpi buruk itu padanya setelah nyaris 20 tahun ia menyimpannya rapat-rapat.
"Kenapa?" Seb menatapnya hampa. "Apa aku salah bicara?"
Sofie menggeleng dan tersenyum pahit. "Nggak. Aku akan ke sana memesan black coffee buat kamu."
Sofie meninggalkan meja dengan perasaan hancur lebur. Seb sudah merusak kebahagiaan kecilnya hari ini. Dan meski Sofie frustrasi oleh sikapnya itu, dia lebih frustrasi lagi karena merasa tak berguna. Sebagai adik satu-satunya dan keluarga Seb yang paling dekat, dia tidak pernah berhasil melakukan apa pun untuk menyelamatkan Seb. Selama dua puluh tahun. []
YOU ARE READING
Forgetting Not Forgotten
Romance[TERSEDIA DI TOKO BUKU] "Cinta bukan segalanya. Cinta itu ibarat kita meletakkan pistol di tangan seseorang dan percaya bahwa orang itu tidak akan menembak kita. Coba pikir, orang idiot mana yang mau seperti itu?" *** Sebastian Januardi memiliki seg...
Part 3
Start from the beginning
