Seb mengerjap lagi, ekor matanya menangkap gestur tubuh penuh ancaman dari Tan. Ayahnya itu menunggu. Seperti hewan buas yang menanti mangsanya bergerak dan melakukan kesalahan terlebih dahulu.

"Atur pertemuan dengan Anderson siang ini. Aku tidak bisa ikut rapat. Harus ke rumah sakit." Kini ia berpaling sepenuhnya pada sosok monster buas di sampingnya. Senyuman terukir di sudut bibirnya yang pahit. "Aku harus menemui kekasihku yang tercinta di sana. Iya kan, Yah?"

***

REAKSI pertama yang diterima Seb saat menjenguk Alice adalah deraian air mata. Yang mana dilakukan Alice di depan kedua orangtuanya. Seb tidak terlalu kaget, toh ia memang sudah menduga penyambutan semacam ini. Sekarang, giliran ia yang menguji bakat akting.

"Jangan nangis, Sayang." Seb membungkuk untuk memberi kecupan manis di dahi Alice. Gadis cantik semakin sesengukan dan gemetar. Seb mengusap lembut wajahnya yang basah oleh air mata, tidak lupa sambil menggenggam jemarinya. Sungguh aksi yang manis.

Lidya, ibu Alice, menghampiri mereka dengan wajah iba. "Untungnya Alice tidak menderita luka permanen. Kalian berdua sangat beruntung."

"Seb." Giliran Robert, ayah Alice, bersuara. "Beberapa hari ke depan Alice harus menjalani beberapa operasi untuk pemulihan tulang kakinya. Om harap kamu bisa menemaninya setiap hari. Gadis kecil kami sangat ketakutan, dan saat ini yang ia butuhkan adalah cinta serta dukungan dari kita semua."

Gadis kecil ... Andai mereka tahu hal mengerikan apa yang bisa dilakukan si gadis kecil ini.

"Saya mengerti." Seb mengangguk pada mereka semua.

Selepas kepergian Robert dan Lidya dari ruangan rawat VVIP itu, Seb menyeret kursi untuk duduk di sisi tempat tidur Alice. Gadis itu menangis sambil membekap bibirnya dengan satu tangan yang tersambung infus.

"Jangan menangis."

"Aku benci kamu!"

"Aku tahu." Seb mendesah pendek. Andai saja dia bisa berakting lebih baik lagi dari ini. "Jadi apa yang kamu mau?"

"Kamu masih berani ngomong gitu?!" Bahkan dalam kondisi tubuh yang sakit dan penuh luka, Alice masih menemukan kekuatannya untuk membelalak lebar. "Oh Sayangku, aku tahu betul kamu melakukan semua ini hanya untuk memuaskan permintaan ayahmu. Kamu bahkan nggak pernah peduli sama hubungan kita. Kamu nggak pernah mencintai aku. Bagi kamu, semua ini nggak lebih dari sebuah permainan."

Perjanjian bisnis, lebih tepatnya lagi. Seb menunduk diam. Bukan karena menyesal atau malu, lebih karena ia bosan.

"Aku belum memberitahu Mom and Dad tentang kebusukan kamu. Kalau sampai mereka tahu bagaimana kamu memperlakukan aku, kamu akan hancur."

"Alice, istirahatlah. Kata dokter, kamu jangan banyak ngomong."

"Jawab aku, Seb, apa kamu pernah mencintai aku?"

"Alice ...."

Perasaan Alice semakin diperparah oleh suara decakan halus yang dibuat Seb. Decakan yang Alice kenal betul sebagai tanda bosan dan kesal. "Kamu nggak pernah mencintai aku!"

"Kita sudah pernah membahas ini."

"Ya, like a thousand times before! You're an asshole, Seb!"

Apa yang akan dilakukan dan dikatakan Alice berikutnya sudah sangat mudah ditebak. Seperti tipikal perempuan pada umumnya, Alice akan memposisikan dirinya sebagai the victim dan Seb sebagai si penjahat yang tidak punya hati. Alice akan mengancam Seb dengan kata putus. Ia akan membombardir Seb dengan sederetan kalimat-kalimat yang akan membuatnya merasa buruk sebagai manusia dan payah sebagai pacar. Dan Alice akan percaya bahwa ia berhasil.

Forgetting Not ForgottenWhere stories live. Discover now