"Apa yang kamu lakukan di sini?"
Seb tidak perlu mengangkat wajah untuk melihat siapa yang baru saja masuk ke dalam kantornya. Suara tegas itu milik Tan Joseph Januardi, ayahnya, sekaligus pemilik tunggal perusahaan Januardi.
Pagi ini baru saja dimulai....
Seb mengembus napas pendek. "Pagi, Yah."
"Apa yang kamu lakukan di sini!" ulang Tan.
"Seperti yang Ayah lihat. Kerja." Seb mengetik berkasnya di laptop tanpa sedikit pun menatap ayahnya yang kini berkacak pinggang di depan meja.
"Kamu seharusnya ada di rumah sakit."
"Alice ditangani tenaga profesional. Untuk apa aku di sana? Memandikan dia?"
Tan menggeram kesal. Kedua tangannya berkacak pinggang. "Setidaknya beri Ayah muka di depan orang-tua Alice! Mereka tiba di rumah sakit semalam dan kamu tidak ada di sana! Demi Tuhan, Seb, pacarmu baru saja mengalami kecelakaan parah dan kamu duduk-duduk di kantormu seperti orang yang tidak punya hati!"
Seb mendongak resah. Tidak punya hati? Lucu sekali, terlebih saat ucapan itu meluncur dari satu-satunya manusia di dunia ini yang justru paling diragukan hati nuraninya
"Anak Muda, tinggalkan pekerjaanmu dan pergilah ke rumah sakit menemani Alice! Kalau memang susah buat kamu untuk jadi orang baik, setidaknya cobalah berpura-pura."
"Jangan khawatir. Memang itu keahlianku selama ini. Berpura-pura."
"Tutup mulutmu," Tan kembali menggeram, "aku tidak memintamu melakukan ini untuk kesenanganku! Punyalah rasa hormat sedikit pada keluarga Alice!"
Seb menutup laptop seraya menarik napas panjang. Ini akan menjadi pagi yang panjang....
"Aku punya satu berita penting. Hanya ingin memastikan Ayah jadi orang pertama yang tahu sebelum para media."
Tan berkacak pinggang tak sabaran. Bukan dalam arti yang baik, tapi lebih dalam arti aku-akan-menghajarmu-kalau-kembali-berulah.
"Jangan sok hebat di depanku, Bocah. Sudah cukup kamu membuat malu satu keluarga dengan membuat skandal di luar sana bersama para pelacurmu."
"Mereka teman kencanku," potong Seb dengan santai, "dan setahuku Alice sendiri tidak mempermasalahkan hal itu."
"Kamu akan terus menjalin hubungan baik dengan Alice. Dengarkan itu baik-baik." Tan menuding telunjuknya di depan wajah Seb. Embusan napasnya terasa kasar. "Aku tidak akan mengampunimu kalau sampai kamu bertingkah lagi. Alice adalah pilihan terbaik untuk keluarga kita. Aku dan orangtua Alice sudah menjadi rekan selama puluhan tahun dan aku tidak akan membiarkan bocah ingusan sepertimu merusak semuanya."
Tentu saja. Rekan.
Tan mendekati Seb untuk memastikan putra sulungnya itu meresapi ancamannya dengan baik.
"Kamu pikir dari siapa kamu dapat perusahaan, fasilitas nomor satu, dan hidup enak, ha? Kalau kamu penasaran ingin jadi gembel—yang mana aku tahu anak manja sepertimu tidak akan punya nyali—silahkan saja temui Alice dan akhiri semuanya. Aku tidak akan keberatan kehilangan seorang putra. Tapi Sofie? Sofie pasti akan sedih kehilangan kakaknya setelah dia kehilangan ibu kalian."
Rahang Seb mengeras menahan marah. Ini bukan pertama kalinya Tan melontarkan ancaman serupa. Tapi sayangnya, ini juga bukan pertama kalinya Seb membiarkan nyalinya ciut.
Suara ketukan pintu yang canggung terdengar dari luar. Seb mengerjap pelan. "Ya?"
"Pagi." Felix, asisten kepercayaannya, membuka pintu dan berdiri bingung memandangi pasangan ayah-anak itu. "Anda memanggil saya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Forgetting Not Forgotten
Romansa[TERSEDIA DI TOKO BUKU] "Cinta bukan segalanya. Cinta itu ibarat kita meletakkan pistol di tangan seseorang dan percaya bahwa orang itu tidak akan menembak kita. Coba pikir, orang idiot mana yang mau seperti itu?" *** Sebastian Januardi memiliki seg...
Part 3
Mulai dari awal
