"Kalau elo nggak mencintai pacar elo itu, kenapa elo bertahan selama tiga tahun lebih?"
Seb mendesah pendek. "Karena untuk sekali aja, aku ingin terlihat seperti anak baik di mata ayahku. Dan juga karena Alice bukan pilihan yang buruk. Dia sangat cantik. Laki-laki lain rela mati untuk menggantikan posisiku."
Gadis itu mencibir ringan. "Hem. Ibu elo suka sama dia?" "Ibuku sudah lama meninggal. Adikku, Sofie, menyukai dia. Tapi Sofie memang menyukai siapa pun." Seb menarik napas panjang sambil meluruskan kakinya. "Aku akan memberitahumu sebuah rahasia besar. Sebenarnya aku nggak terlalu yakin apa ini bisa dibilang rahasia karena sepertinya Alice sudah tahu. Bahwa aku sering berselingkuh di belakangnya, berulang kali. Aku melakukannya karena aku ingin membuatnya marah dan akhirnya memutuskanku."
"Guess what? Gue pacaran sama cowok yang udah menikah."
"Kiddo, ini bukan kontes Siapa Yang Lebih Brengsek." Seb menunggunya bicara, tetapi gadis itu menatapnya lurus tanpa berkedip. Seketika itu ia tersentak. "Jadi My Lovely Boyfriend yang tadi meneleponmu itu suami orang?"
"Ya. Dan dia sendiri yang memberi nama senorak itu di handphone gue."
"Kalian tinggal serumah?"
"Dia membeli apartemen biar dia bisa bebas mengunjungi gue. Kadang dia menginap, pastinya dia harus pura-pura pergi keluar kota dulu supaya istrinya enggak curiga," Tatapannya menerawang ke atas. "Mr. Tuxedo, pernahkah hidup elo terasa datar dan elo nggak bisa menemukan alasan untuk bangun pagi dengan semangat? Elo terbangun dari tidur, menjalani hari tanpa ambisi apa pun, bercinta dengan pasangan tanpa hasrat apa pun, dan tahu-tahu elo terjebak dalam rutinitas yang menjemukan setiap hari. Lalu tanpa sadar, elo udah membuang waktu elo untuk sesuatu yang hampa."
"Lebih kedengaran seperti orang yang enggak tahu rasa bersyukur."
"Nah, selamat. Elo baru aja mendeskripsikan diri lo sendiri."
Seb termangu, "Kamu yakin umurmu baru 17 tahun?"
"Ya."
Seb menghitung selisih umur mereka. Sepuluh tahun. Ia tidak percaya ia sedang berbincang dengan gadis yang sepuluh tahun lebih muda darinya. "Dan kamu mendengar Etta James."
"Gue bebas mendengar musik apa pun yang gue suka."
"Tapi kamu masih 17 tahun."
"Ya."
"17 tahun dan mendengar Etta James."
Gadis itu mulai merasa terusik. "Hanya karena gue masih muda, bukan berarti gue harus suka sama One Direction atau Taylor Swift."
"Aku nggak yakin kamu masih semuda itu."
"Berapa umur lo?"
"27."
"Damn. Penampilan lo kayak bapak-bapak 47 tahun."
Seb mengumbar senyum geli.
"Tunggu dulu. Sepertinya gue kenal sama lo," sahut gadis itu tiba-tiba. "Elo kelihatan familiar."
"Aku yakin berita kecelakaan itu akan muncul di Detik sebentar lagi, dan kamu bakal tahu siapa aku."
"Oh yeah? Orang terkenal nih ye?"
Seb mengulurkan tangan untuk alasan kesopanan yang selama ini tidak pernah ia pedulikan. "Sebastian Januardi."
"Hem?"
"Panggil aja Seb."
Gadis itu tidak membalas uluran tangannya. Sebaliknya dia kelihatan bingung. "Januardi? Seperti Januardi dari keluarga Tan Joseph Januardi yang terkenal itu?"
"Ya. Tan Januardi ayahku."
Gadis itu sama sekali tidak terlihat terkesan. Dia malah memandangi Seb dengan eskpresi kaget seakan baru saja melihat hantu. Bibirnya bergerak-gerak seolah sedang merapal nama Januardi di dalam hati. Apakah dia terkejut? Shock? Atau senang bertemu dengan "selebriti" seperti Seb?
"Aku boleh tanya sesuatu?"
Gadis itu mengerjap bingung. "Hem?"
"Tanpa bermaksud menghakimimu, tapi kenapa kamu memacari om-om yang sudah menikah? Karena uang?" Gadis itu tidak terlihat seperti anak remaja yang menyilaukan. Karena selain iPhone di tangannya yang notabene keluaran terbaru, selebihnya penampilan, pakaian, dan sepatu kedsnya jauh dari kesan mewah.
Si anak sekolah memandangi Seb dengan cara yang berbeda. Seolah dia ingin mengucapkan sesuatu yang tidak terungkapkan. Atau seolah dia ingin membekukan Seb dengan tatapannya yang tajam.
"Ya, karena uang. Siapa yang nggak butuh uang? iPhone ini nggak jatuh begitu aja dari langit."
"Kamu mencintai dia?"
Gadis itu memandangi Seb seolah-olah ia baru saja memuntahkan sesuatu yang beracun. "Pffff. Tuan Pujangga, cinta itu ibarat menyerahkan pistol ke tangan orang lain dan percaya bahwa orang itu nggak akan menembak kepala kita. Cinta cuma buat orang idiot."
Cerdas namun sinikal. Muda namun dewasa. Misterius namun blakblakan. Seb menyukai anak sekolahan ini. Ia barangkali satu dari jutaan manusia yang bisa membuat dirinya penasaran. Perasaan Seb bergejolak penuh semangat.
"Gue tahu apa yang ada di pikiran elo." Sahut gadis itu sambil mengulum senyum. "Pasti menderita sekali, menjalin hubungan dengan orang yang nggak kita cintai, belom lagi harus bercinta demi uang dan segala tetek bengeknya. Well, sebenarnya pacar gue itu belum terlalu tua, mungkin usianya sepantaran sama kamu atau lebih muda sedikit. And to be honest, seksnya lumayan."
"Selama ini aku kira perempuan harus selalu pakai perasaan."
"Alice-mu mungkin iya. Tapi gue enggak."
Bus berhenti mendadak, membuat beberapa orang yang berjejalan menabrak satu sama lain. Suara decit ban bersahutan dengan sang kenek yang meneriakkan sesuatu seperti nama tempat, lalu gadis itu beranjak dari kursinya.
"Gue turun di sini. Ngomong-ngomong, asik juga ngobrol sama elo. Semoga pacar lo segera sembuh dan sadar betapa brengseknya elo lalu putusin elo. Itu kan yang elo mau? Dan sebagai sesama orang brengsek, gue saranin elo tidur. Elo kelihatan kacau."
"Kamu sering naik bus ini?"
"Ha?"
"Kamu sering naik bus ini? Setiap malam?"
Gadis itu tersenyum bingung. "Mungkin?"
Sebelum Seb sempat membuka mulut untuk menanyakan namanya, gadis itu sudah melangkahi kedua kakinya dan hilang di tengah kerumunan. Seb melompat panik dari kursi mencoba mengejarnya. Namun, usahanya terhalang oleh sekumpulan manusia yang melompat masuk ke dalam bus seperti ombak yang menggulungnya mundur. Sekeras apa pun usahanya untuk mencoba meraih pintu atau sesuatu, bus itu sudah melaju kencang meninggalkan halte tanpa mempedulikan protesnya.
Seb melengos dalam hati memandangi bayangan yang sedang menatapnya dari halte. Sial. Ia bahkan belum tahu siapa namanya. Sekarang yang bisa ia lakukan hanya memandang pasrah bayangan gadis itu dari jauh, melihatnya menjadi kian samar sebelum akhirnya menjelma jadi satu titik yang kabur.
Dengan tergesa-gesa ia merekam sosok itu sebaik mungkin, sebanyak mungkin
ke dalam kepalanya. Rambut panjang kusut, mata tajam, senyuman dingin, tas ransel biru, sepatu kets kotor, Etta James, dan "hem". Gadis itu sering sekali bergumam.
Tapi ini terlalu sedikit dan terlalu sepele. Ia bisa jadi siapa saja. Siska. Adriana. Felicia. Maria. Nur. Wulan. Orang asing yang memiliki selera musik tidak biasa. Cewek aneh yang tidak ingat hari ulang tahun sahabatnya. Gadis sekolahan yang pulang larut malam untuk menyelinap ke apartemen pacar gelapnya. Anak muda yang tahu segelintir rahasianya yang paling busuk.
Brengsek. Seb mengumpat kesal. Ia tidak yakin akan bertemu lagi dengannya. []
YOU ARE READING
Forgetting Not Forgotten
Romance[TERSEDIA DI TOKO BUKU] "Cinta bukan segalanya. Cinta itu ibarat kita meletakkan pistol di tangan seseorang dan percaya bahwa orang itu tidak akan menembak kita. Coba pikir, orang idiot mana yang mau seperti itu?" *** Sebastian Januardi memiliki seg...
Part 2
Start from the beginning
