"Aku nggak pernah mencintai perempuan itu, for God's sake." Ia tidak tahu mengapa ia mengulangi kalimat itu lagi. Terjadi begitu saja. Mungkin ia pernah mendengar bahwa bersikap jujur dengan menumpahkan semua keluh kesah pada orang asing yang tidak akan ditemui lagi keesokan hari, adalah sebuah terapi yang menyegarkan. Lumayan benar juga. Efeknya terasa luar biasa dahsyat. Seperti ada bongkahan batu besar yang berhasil dimuntahkan keluar.
"Aku nggak menginginkan dia mati, tentu saja. Aku cuma ... entahlah, aku sudah mencoba untuk pura-pura menangis atau semacamnya, tapi nggak bisa. Tiga tahun delapan bulan. Kami bertengkar di pernikahan sahabatku karena aku bilang aku nggak akan mau menikah dengannya. Dan bahwa hidup semacam itu, terkekang oleh komitmen mengerikan bernama pernikahan itu, bukanlah ide bagus."
Seb tersenyum sambil memandangi pemandangan di koridor tengah yang dipenuhi penumpang. Baunya luar biasa sekali. Ia mengingatkan dirinya sendiri untuk mandi berkali-kali setelah pulang nanti.
"Aku enggak ngerti jalan pikiran perempuan, terutama Alice. Dia bisa saja meninggalkan aku dan mencari laki-laki sempurna lain yang siap menikahinya. Tapi dia lebih memilih bersamaku, membuang waktunya dengan sebuah harapan semu bahwa suatu hari nanti dia akan aku persunting. Lalu setelah dia tahu kenyataannya, bahwa aku enggak tertarik untuk menikahi dia, dia marah besar dan memilih melukai dirinya sendiri. Dia sengaja melajukan mobilku menembus lampu merah. Mungkin dia pikir lebih baik aku mati bersamanya daripada aku hidup tanpanya. Seharusnya aku nggak pernah membiarkan dia mengambil kunci mobilku. Sekarang Porsche-ku ringsek."
Seb menoleh ke sebelah dan mendapati gadis itu terdiam menatapnya.
"Ceritaku membuatmu muak. Kamu bebas membenciku setelah ini." Ia tidak berharap apa-apa. Sebuah tamparan, mungkin, atau pandangan jijik dari gadis di sampingnya itu. "Aku hanya ingin berkata jujur untuk pertama kalinya, rasanya melegakan sekali. Persetan dengan anggapan orang-orang dan kamu."
Gadis itu masih saja terdiam menatapnya.
Jadi Seb melanjutkan. "Kamu pernah merasa lelah berpura-pura semuanya baik-baik saja, semuanya sempurna, sementara dada ini rasanya ingin meledak? Orang mengganggapku manusia paling nggak tahu diri dan nggak bisa bersyukur, tapi mereka nggak tahu gimana rasanya menjalani hidup seperti ini."
Mungkin anak SMU itu akan segera menyingkir dari tempat duduknya.
"Kamu nggak akan ngerti, Kiddo." Seb melemparkan senyum meremehkan.
"Gue enggak pernah ingat tanggal ulang tahun sahabat gue."
Seb menoleh kaget. "Ha?"
"Gue bilang, gue enggak pernah ingat tanggal ultah sahabat gue, padahal kami udah bersahabat lama banget." Ia mencibir sedikit. "Terus, gue punya phobia akut sama orang lanjut usia. Mereka mengerikan."
Seb termangu di kursi. Dan gadis itu tersenyum cuek."Cuma mau ingetin elo, bahwa elo bukan satu-satunya orang brengsek yang pantas mati di dunia ini."
Seb tercenung cukup lama. Perlahan-lahan seuntai senyuman tipis terukir di bibirnya. Bukan semata karena ada yang lucu dari ucapan gadis itu, tapi karena ia sadar ini pertama kalinya ia tertarik pada hidup seseorang. Seolah ia baru saja terbangun dari tidur panjangnya dan sadar banyak hal yang telah ia lewati. Bahwa masih banyak manusia-manusia aneh di dunia ini yang lebih buruk atau sama buruknya dengan dia.
Untuk sekian lama ia memandangi gadis itu tanpa berkedip. Namun, ketika gadis itu membalas tatapannya, Seb segera mengalihkan wajahnya ke tempat lain. Eye contact bukanlah keahliannya. Tidak peduli seberapa pun tertariknya ia pada sesuatu atau seseorang atau apa pun, eye contact adalah hal yang sangat tabu.
CITEȘTI
Forgetting Not Forgotten
Dragoste[TERSEDIA DI TOKO BUKU] "Cinta bukan segalanya. Cinta itu ibarat kita meletakkan pistol di tangan seseorang dan percaya bahwa orang itu tidak akan menembak kita. Coba pikir, orang idiot mana yang mau seperti itu?" *** Sebastian Januardi memiliki seg...
Part 2
Începe de la început
