Seb memiliki selera yang tinggi dalam menilai seorang perempuan. Sejauh ini, Alice berada di peringkat teratas dalam segala-galanya. Dan jelas gadis ini menempati peringkat ke ... entahlah, ia tidak pernah tertarik untuk menilai anak ABG. Yang pasti ia tidak berselera dengan jenis perempuan begini.

"Udah puas natapnya?" tanya gadis itu padanya.Gadis itu telah menyelesaikan percakapan teleponnya dan kini sedang memandangi Seb balik, tapi anehnya Seb tidak segera memalingkan wajah.

"Etta James." Seb mengangguk kecil. "Aku belum pernah bertemu dengan anak sekolah yang menyukai Etta James. Berapa sih umurmu?"

"Tujuh belas."

"Oh." Seb mengangguk sambil sedikit mencibir. "Dan apa orangtuamu tahu, kalau kamu belum cukup umur buat tinggal bareng dengan pacarmu?"

Gadis itu tertawa pelan. Sedikit mengherankan karena dia tidak terlihat marah sama sekali. "Lalu apa lo udah merasa cukup umur buat nguping pembicaraan orang lain?"

"Setidaknya sekarang aku ngerti kenapa kamu masih keluyuran malam-malam begini."

Gadis itu melepaskan kedua earphone dari telinganya. Sepertinya sekarang dia benar-benar tertarik untuk membalas setiap tabuhan genderang perang dari Seb.

"Lo sendiri? Gue nggak sabar ingin tahu apa cerita elo, sampai-sampai elo bisa naik bus orang miskin dengan setelan tuxedo yang luar biasa mewah itu. Dan tanpa bermaksud melukai perasaan elo ya, Om, tapi bau parfum elo benar-benar enggak enak."

"Ini parfum mahal."

"Berarti selera Om yang murahan."

"Aku mengenakan tuksedo karena baru pulang dari pernikahan sahabatku, yang akhirnya berujung pada kecelakaan mobil."

"Mm-hmm." Gadis itu tertawa lagi. Lebih terdengar sinis dari sebelumnya.

"Pacarku yang menyetir mobil dan truk besar itu menabrak dari sisinya. Dia sekarang terbaring di rumah sakit setelah menjalani operasi patah tulang. Sementara aku hanya butuh beberapa jahitan di tangan." Sungguh Seb tidak tahu mengapa ia mengatakan semua ini. Tapi ia tidak bisa berhenti. "Lucky bastard, mereka bilang. Tapi diam-diam aku berharap aku yang ada di rumah sakit. Bukan karena aku romantis dan ingin menggantikan pacarku, tapi lebih karena aku ingin istirahat sejenak dari hidupku yang membosankan. Rasa-rasanya asyik juga bisa tidur seharian di ranjang tanpa melakukan apa pun."

Gadis itu menggeleng bosan dan kembali menanamkan satu earphone di telinga kirinya. Saat dia memiringkan wajahnya siap untuk mengambil earphone satunya lagi, gerakannya terhenti begitu tatapannya tertumbuk pada tangan Seb yang dibalut perban. Seketika itu dia tercenung"Elo enggak bercanda soal kecelakaan itu. Sori, gue enggak tahu. Pacar elo baik-baik aja kan?"

Seb mengangkat bahunya. "Peduli amat."

Gadis itu mengernyit bingung.

"Ngomong-ngomong, boleh nggak kita merokok di dalam bus?" Ia mengeluarkan bungkusan rokok dari balik jas tuksedonya. Lalu berhenti saat gadis itu menusuknya dengan tatapan tajam. "Apa?"

Si anak sekolah menggeleng jenuh dan kembali memasang earphone-nya dengan gerakan 'aku-tidak-percaya-aku-hampir-saja-bersimpati-pada-laki-laki-brengsek'.

"Jadi menurutmu aku nggak boleh merokok di dalam bus? Atau aku seharusnya bersikap seperti pacar yang baik dengan menangis tersedu-sedu di hadapan kamu?" Seb memasukkan kembali bungkusan rokoknya. "Aku harus mengakui satu hal. Bahwa aku nggak pernah mencintai Alice."Ada kelegaan sederhana yang meletup di dada Seb saat ia mengucapkannya. Akhirnya, ia bisa mengatakannya dengan lantang.

Forgetting Not ForgottenWhere stories live. Discover now