Tidak lama lagi semua orang di bus ini akan segera menendangnya keluar. Tapi sekali lagi, peduli setan. Seb kembali memusatkan pikirannya pada Alice untuk beberapa menit ke depan, tentang kebiasaannya mengukir senyum cemberut setiap kali ia telat menjemputnya, tentang kebiasaan-kebiasaan uniknya, tentang suara centilnya, tentang—lalu sebuah benda menimpuk keras wajahnya.
Seb terbangun seketika itu juga. Dompet yang sengaja ia taruh di kursi sebelah kini sudah terlempar ke pangkuannya. Matanya membelalak kesal pada sesosok perempuan yang melangkahi kedua kakinya untuk duduk di kursi sebelah. Yang pertama kali ia lihat adalah rambut panjang yang kusut. Lalu cardigan tipis dan sepatu keds kotor. Seb mendecak halus.
"Maaf, tapi kalau kamu nggak keberatan, aku lebih suka duduk sendiri."
"Kalau gitu mungkin lebih baik Anda naik Ferrari. Atau naik kuda sekalian." Perempuan—atau lebih tepatnya lagi anak gadis—itu menoleh risi padanya. Ekspresi wajahnya cukup tenang meskipun senyuman di bibirnya menunjukkan kekesalan.
Seb menurunkan pandangannya sekali lagi untuk menerawang penampilan gadis itu. Bibirnya mengulas senyum tipis. Anak SMU. Anak kecil.
"Habis pulang dari pesta kostum, ya?" sindir si anak kecil.
Pandangan Seb naik kembali ke wajahnya. "Yang jelas aku enggak baru pulang dari sekolah." Matanya mendelik jarum arlojinya. "Apalagi jam segini. Ini sudah terlalu larut buat anak sekolah sepertimu keluyuran."
Gadis sekolah itu mengukir senyuman sama sinisnya dengan Seb. "Seenggaknya anak sekolahan kayak gue lebih tahu diri, nggak sengaja meletakkan dompet di bangku kosong untuk mengusir orang lain yang mau duduk." Dia mengeluarkan earphone dan ponsel dari balik tas ranselnya. Matanya masih saja tertuju pada Seb saat menyumbat benda itu pada kedua telinga. "What?"
"Kalau kamu memang mau duduk di situ, do me a favour, Kiddo, duduk diam, nikmati saja lagu K-Pop atau Justin Bieber-mu itu, dan jangan bicara sepatah kata pun supaya aku bisa tidur tenang."
Gadis itu kembali tersenyum sinis pada Seb sebelum memalingkan wajahnya ke jendela. Seb melipat kedua tangannya, menyenderkan kepala ke bangku reyot dan mencoba memejamkan mata.
Pikirkan Alice....
Dua detik kemudian sosok Alice buyar dari kepalanya, digantikan rasa ingin tahu yang mulai menggelitik. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak membuka satu kelopak mata mengintip list musik yang diputar dari iPhone sebelah.
Etta James.
Alis Seb sontak bertautan. Etta James? Yang benar saja?! Berapa sih umur anak ini? Mungkin iPhone-nya tertukar dengan milik ayahnya. Masuk akal.
Sebuah panggilan telepon muncul, membuat gadis itu tersentak. Seb membaca sekilas tulisan My Lovely Boyfriend yang tertera di layar, yang mana nyaris membuatnya muntah. Ia sempat mengira remaja ini punya selera yang bagus soal musik, yang membuatnya berbeda dengan anak tanggung lainnya, tapi ternyata...
My Lovely Boyfriend...? Please...!
"Halo?" Gadis itu menjawab teleponnya. "Iya, baru naik bus. Hem. Sebentar lagi aku sampai.... Iya. Aku tahu.... Oke, oke. Iya... Hem...." Dia berhenti sebentar untuk membuka ritsleting tas ranselnya, memeriksa isinya dan kembali menjawab, "Kuncinya ada di sini. Nggak, kamu nggak perlu nunggu aku pulang. Ini sudah malam. Kamu tidur aja dulu."
Kalimat terakhir itu sukses membuat Seb terusik dari tidur ayamnya. Lagi-lagi ia tidak bisa menahan diri untuk tidak membuka mata. Untungnya si gadis sekolah itu sedang memandang ke luar jendela, jadi ia bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk menilainya.
YOU ARE READING
Forgetting Not Forgotten
Romance[TERSEDIA DI TOKO BUKU] "Cinta bukan segalanya. Cinta itu ibarat kita meletakkan pistol di tangan seseorang dan percaya bahwa orang itu tidak akan menembak kita. Coba pikir, orang idiot mana yang mau seperti itu?" *** Sebastian Januardi memiliki seg...
Part 2
Start from the beginning
