Upaya Move On

488 18 14
                                    

JINGGA

"Dirga ngechat nih, nanyain lo ada bareng gue atau nggak. Gimana balesnya?"

"Bilang aja ada. Bilangin juga malam ini gue mau nginep di kostan lo."

"Enak banget nginep. Emang gue udah kasih izin?"

"Pelit lo, amit-amit."

Alin terkekeh kencang. Tampak bahagia jika berhasil membuat emosiku naik. Kubenamkan lagi wajah pada bantal, menghirup harum pewangi khas laundry yang masih menempel di sana.

"Dia nyuruh lo bales chat. Nggak enak katanya kalo lewat gue," kurogoh saku celana jins untuk mengambil hape yang ... oh, mamamia ternyata mati total. Pantas saja tidak ada satu pun pesan atau panggilan yang masuk.

Setengah enggan, aku berjalan mencari colokan dan merebut kabel charger yang akan Alin gunakan.

"Eeet, mau gue pake juga.”

"Minjem bentar doang elah."

Kuabaikan omelan Alin dengan menunggu proses boating selesai. Saat layar menyala sepenuhnya, aku kaget melihat belasan pesan masuk dan puluhan chat yang kesemuanya dari Dirga. Aku scroll hingga bawah dan makin terkejut saat melihat pesan Mutia yang berada tepat di atas pesan Prasta. Jodoh memang nggak ke mana. Aku mengumpat kesal. Sama sekali tak ada minat secuil pun membaca pesan mereka. Aku klik delete.

"Jadi, bisa jelasin maksud dan tujuan lo mampir bahkan berniat nginep di sini?

"Kenapa? Nggak boleh ya gue nginep di sini? Ada yang larang? Siapa? Yang punya? Oke, fine. Bilang sama ibu, bapak, siapa pun itu penjaga kostan lo, gue bayar tiga kali lipat. Puas?"

"Buset dah kayak motor balap aja lo dikit-dikit ngegas," Alin menjauh, membuat jarak denganku. "Santai bu, santai. Lo boleh nginep di sini, asal cerita dulu. Lo abis mewek ya?"

"Ngaco! Siapa juga yang mewek? Jangan suudzon, dosa!"

Kaget diberondong pertanyaan tepat sasaran, aku memilih menunduk. Setiap tatapan Alin berubah intens, aku sengaja membuang muka.

"Your eyes never tell lies, Jingga. Kenapa? Ada masalah apa? Cerita sini sama Mama Alin."

Tangan Alin terbentang mengisyaratkan sebuah pelukan. Aku menjulurkan lidah, pura-pura mual.

"Nggak ada mewek-mewekan, Lin. Gue cuma pengin nginep. Dirga lagi ke puncak, otomatis di kostan sepi. Gue nggak mau sendiri. Udah gitu aja."

Bukannya mengangguk paham, Alin menatap penuh curiga. Padahal aku sudah bersikap setenang mungkin, meski mata ini kelihatan sekali berbohong. Ya bagaimana tidak, aku belum sempat mencuci muka untuk menghilangkan jejak air mata. Suara yang biasanya cempreng, berubah serak dan sedikit sengau. Apalagi mata sipitku menjadi merah dan membengkak. Memang benar, kondisiku saat ini sangatlah berantakan.

"Kalimat 'nggak suka sendiri' ini kode kan? Beda loh, sendiri secara harfiah atau sendiri secara batiniah. Yang gue liat, sendiri yang lo maksud tipe batiniah. Sampe sembab gitu, emang sepilu apa sih malam minggu lo?"

"Pengin tau banget? Mending urus malam Minggu lo yang nggak kalah pilu itu!"

Sebuah bantal telak mengenai kepala dan membuatku tersungkur hingga ke belakang. Berniat protes, kutatap tajam Alin yang juga tengah menatapku tak kalah tajam.

"Pulang lo sana! Kostan gue haram diinjak cewek batu! Hus hus."

"Kok sewot?"

Dalam pitinganku, dia tak mau berhenti untuk berontak. "Berat, pe'a! Lo mau bunuh gue, ha?"

Ephemeral : Can't Leave You AloneWhere stories live. Discover now