L.O.S.E.R

24 5 11
                                    

DIRGA

SETIDAKNYA, apa yang gue putuskan di rumah untuk menebus kesalahan bukan wacana belaka. Malam ini juga, gue nggak langsung pulang. Nekat, gue melajukan motor menuju arah berlawanan. Ada satu hal yang harus dituntaskan.

Ya, gue berniat menjelaskan semuanya pada Karin. Tanpa terkecuali, tanpa ada hal yang harus ditutupi. Masalah yang menyebabkan hubungan kami jadi gantung tanpa kepastian dalam beberapa minggu ini akan segera diakhiri. Gue akan memperbaiki apa yang harus diperbaiki. Termasuk mengais kesempatan kedua jika memang ada. Gue ingin hubungan kami kembali seperti sedia kala. Sebab gue yakin itu satu-satunya solusi terbaik dari semua pilihan yang tersedia.

Bukankah kewajiban gue bertanggung jawab atas apa yang terjadi kemarin? Gue nggak mau melarikan diri lagi. Jika dengan penjelasan nggak membantu, gue masih punya ketetapan hati untuk mempertahankan. Meski apa yang gue temukan cukup menjawab separuh dari rasa penasaran. Cukup untuk memprediksi akhir kunjungan.

Motor asing itu, selain mencuri tempat favorit di mana motor gue sering terparkir juga membuat hati nggak nyaman. Oke lah, motor gue memang keluaran zaman baheula, nggak level disandingkan CBR hitam yang saking kinclongnya bikin mata silinder dua-duanya. Gue cukup tahu diri, tapi juga perlu mengonfirmasi.

Apa benar Karin sedang kedatangan tamu? Apa tamu itu adalah cowok yang akhir-akhir ini menempel padanya? Sejauh mana hubungan mereka? Apakah kedatangan gue sia-sia? Semua asumsi membingungkan membuat gue frustrasi. Dan kefrustrasian itu semakin menjadi ketika chat yang dikirim tiga puluh menit lalu berakhir mengenaskan, diread doang.

Jelas ada yang berbeda malam ini. Seindah apa pun langit bertabur bintang, sedamai apa pun angin berembus tenang, hati ini nggak bisa menyembunyikan kekalutan. Gue menghitung mundur dalam hati. Sudah gue mantapkan bagaimana respons Karin nanti, entah menolak, mengabaikan, bahkan mengusir ... peduli setan, gue akan tetap menunggu. Haram balik badan tanpa meninggalkan penjelasan.

Sekali lagi. Untuk yang kesekian kalinya, gue kirim chat sebanyak-banyaknya. Gue panggil nomor yang sama walau harus berakhir di kotak suara. Baru kali ini gue begitu putus asa. Bahkan dulu saat ngalamin hal yang lebih drama nggak sebegini nelangsanya. Erika, mantan gue sebelumnya pernah melakukan hal serupa, nggak mau kasih pintu dan membiarkan gue menggigil kedinginan di depan kostan. Sayangnya, nggak sampai sepuluh menit gue balik dan mengakhiri hubungan tanpa pikir panjang.

Konteksnya sama; diputusin tiba-tiba. Alasan Erika terbilang sepele lantaran sikap gue yang angin-anginan, sehari perhatian, sehari bajingan. Tapi itu jelas berbeda dengan apa yang gue hadapi sekarang. Erika sama sekali nggak tahu perasaan gue buat Jingga. Sementara posisi Karin tahu segalanya, lantas gue berpikir akan lebih baik meminta bantuan dia.

Apalagi kalau bukan move on? Hati gue kekeuh meyakini bersama Karin pasti bisa melewatinya. Sebut egois atau apa pun itu. Tapi dibanding harus menggunakan cara lain, gue lebih memilih opsi ini agar bisa lepas dari belenggu cinta sepihak yang sia-sia.

"Ada apa?"

Suara familiar yang gue hapal, entah kenapa kali ini terdengar berbeda. Gue nggak heran karena kesalnya Karina Olimpia berubah jadi super mengerikan. Nggak cuma suara, bahkan sikap dan tingkah lakunya bisa berbalik 180 derajat.

Gue beranikan diri menoleh, di mana cewek yang gue tunggu kehadirannya berdiri menyilangkan tangan di dada, lengkap ekspresi yang jauh dari kata bersahabat. Melihat tubuh kurusnya dibalut kaus tipis, gue membuka jaket.

"Udah tau dingin, keluar cuma pake kaos. Aku nggak mau ya pacarku yang cantik ini masuk angin.”

Pakaian hangat itu disampirkan di bahunya. Secara lisan memang nggak ada protesan, tapi kerlingan bola mata Karin jelas mengatakan demikian.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 01 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Ephemeral : Can't Leave You AloneWhere stories live. Discover now