Jingga : Home?

823 31 23
                                    

AKU ADALAH pribadi yang buruk. Percayalah, sifatku benar-benar buruk. Ketika semua anak di seluruh dunia bahagia pulang ke rumah, aku tidak. Ketika mereka tidak sabar ingin segera bertemu orang tua dan anggota keluarga lainnya, aku sibuk mencari alasan untuk bisa melarikan diri.

Pagi ini, aku melancarkan segala cara untuk mengulur waktu. Termasuk pura-pura sakit perut dikarenakan datang bulan. Tidak sepenuhnya berpura-pura sih, mengingat hari pertama adalah yang paling menyakitkan. Semua perempuan di belahan bumi mana pun pasti paham bagaimana rasanya menstrual cramp yang terbukti menyakitkan.

Beruntung aku tidak kelepasan mencakar Dirga yang hampir murka ketika menemukanku kembali meringkuk di tempat tidur. Setelah melihat wajah pucatku, emosinya lenyap. Bahkan dia memberi waktu untuk beristirahat.

Jika ditanya apakah aku sengaja melakukan ini? Maka jawabannya iya. Begitu pun dengan pertanyaan; apakah aku menyesal melakukannya? Jawabannya tidak sama sekali. Aku malah senang jika kunjungan hari ini gagal.

Namun bagaimana pun juga aku masih berhati manusia untuk tidak mengabaikan rengekan Pusaka. Berkat rayuan Dirga, akhirnya aku berpikir tidak ada salahnya mengalah dan memilih pulang ke rumah.

Terakhir kali bertemu mereka saat liburan tahun baru, hampir satu bulan yang lalu. Bicara sibuk, tidak sama sekali. Bicara tidak ada waktu, jelas kebohongan semata. Selama liburan semester ganjil, yang kuhabiskan hanya membusuk di kontrakan.

Seperti yang kusinggung di awal mengenai pribadi yang buruk, itu benar adanya. Percaya atau tidak, tapi inilah kenyatannya. Aku sudah kebal mendengar status anak tidak tahu diri karena sikapku ini. Baiklah, akan kuberitahu satu hal mengenai sebuah rahasia yang apabila kalian tahu, mungkin akan menuduhku sebagai anak durhaka.

Tidak masalah, aku lebih senang dianggap demikian daripada menjadi manusia munafik. Ironis rasanya, sementara fakta mengatakan bahwa aku bertindak layaknya manusia munafik.

Rahasia ini sudah kusimpan sejak lama dan tidak ada satu pun yang tahu. Baik Dirga, Mutia, Mama, dan Papa—aku tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah mereka jika tahu akan hal ini.

Jujur, aku sangat membenci keluargaku. Ini tidak sama seperti benci yang menuntut seseorang membalas dendam atau melenyapkan nyawa. Namun, benci dalam tahap meyakini bahwa keluarga baruku bukanlah keluarga sebenarnya.

Setidaknya itu dari sudut pandang pribadiku.

Aku benci pulang ke rumah. Aku benci bertemu dengan Papa. Aku benci ketika menemukan pemandangan baru di keluarga baruku. Maka kuputuskan untuk pergi sejauh mungkin. Dengan pergi dari rumah dan tinggal di kontrakan, contohnya.

Aku menjadi seorang pembangkang dan bertindak semaunya. Kalian mungkin tidak akan mengerti, tapi inilah aku, si anak yang tumbuh besar dari kasus perceraian.

Hah, merepotkan. Selalu saja terbawa suasana setiap membicarakan masalah keluarga. Mau bicara sampai berbusa mengenai rasa malas pun percuma. Karena nyatanya sekarang aku sudah berada di depan pintu. Berdiri konyol, menenteng kantung plastik berisi snack kesukaan Pusaka. Sementara Dirga di belakang sibuk bercumbu dengan motornya. Aku jadi ingin pulang ke kontrakan saja.

"Kok nggak masuk?"

Dirga sudah berdiri di sampingku, namun aku sengaja mengabaikan dengan memencet bel sebanyak dua kali.

Ephemeral : Can't Leave You AloneWhere stories live. Discover now