Sakit Tak Berdarah

449 26 15
                                    

DIRGA

"Ke puncak kayaknya seru."

"Apalagi ada ceweknya."

"Setuju. Malam Mingguan, bakar ayam, ngeronda sampe subuh."

"Anjay, perfect dah! Malmingan sama cewek."

"Pasti dingin."

"Pasti ena."

Amar dan Gilang saling tatap, lalu terkikik penuh makna.

Radif nimbrung. "Realisasikan woy, jangan cuma wacana. Kalau mau besok Sabtu noh."

Mereka saling tatap, lagi. Lalu berteriak 'nice idea' dengan kompak.

"Tumben otak lo jalan."

"Ho'oh. Tumben banget, biasanya juga mampet."

Radif menggosok kuping saat diberondongi pernyataan hina dina secara bergantian. Sementara duo A-Gil sibuk terkikik layaknya orang keserupan setan kurang piknik.

"Oke, fix, besok Sabtu kita ke puncak," Amar berucap final seolah semua makhluk di ruang klub setuju. "Lo pada bawa cewek ya, terserah mau pacar, temennya pacar, tapi dengan catatan masih jomblo. Jangan bawa emak, adek, atau kakak cewek! Kalau mau family time mending di rumah masing-masing aja."

"Ya elah, kenapa harus bawa cewek sih?" Radif si jomblo—karena Amar dan Gilang baru resmi pacaran sama dedek semester dua—protes. "Ini nggak adil buat gue. Mending khusus laki aja. Lagian ke puncak nebeng parkir mana seru, kudu nginep lah."

"Emang siapa bilang cuma setor pantat abis itu pulang? Gue juga niatnya gitu kali, Nyet, nginep semalem. Iye nggak, India?"

"E-eh?"

Gue menyembur tawa melihat kepala Shiv menggeleng ala-ala India. Ya, dia memang orang India. Lebih tepatnya blasteran Bogor-India. Gue yakin maksud Amar langsung lempar klarifikasi pada Shiv, pasti karena 'itu'.

"Villanya si India kan gede tuh. Jadi nanti area cewek sama cowok bisa dipisah."

"Tapi saya belum bertanya sama Bapa."

"Tenang saja, anda tidak perlu khawatir. Mari kita serahkan semuanya pada ahli yang sudah tidak diragukan lagi kredibilitasnya."

Tatapan semua orang tertuju pada gue.

"Apa?"

"Nanti biar Bos Besar Dirga yang bilang. Dia kan mulutnya semanis madu, pasti bokap lo bakal kasih izin."

"Kenapa gue? Anaknya aja ragu, apa kabar gue yang orang lain. Gue juga belum menyanggupi untuk ikut, jangan asal tunjuk lo pada."

"Di sini haram menerima penolakan, Bung. Mau alasan segudang pun, lo adalah orang penting jelas wajib ikut."

Gue berdecak kesal. Shiv tiba-tiba menghambur ke arah gue lalu meremas bahu. "Dirga, saya yakin jika itu kamu, pasti Bapa akan memberikan izin. Ini akan menjadi malam yang berarti untuk saya dan juga Radif."

Sekarang gue paham kenapa tatapan mata Pratap berubah antusias. Itu karena dia juga sama jomblonya dengan Radif.

"Alasannya? Nanti gue dimarahin bokap lo lagi."

"Tidak. Bilang saja kita ada acara kampus."

"Tapi kalau ada apa-apa jangan bawa-bawa gue ya. Ini di luar kuasa sebagai juru bicara."

Semuanya mengangguk, tersenyum lega.

"Masalah tempat tinggal aman, tinggal transport nih. Minimal kita sedia dua mobil biar bisa bawa jiwa banyak. Gue sih ada mobil punya Abang nganggur sampe hari Minggu."

Ephemeral : Can't Leave You AloneWhere stories live. Discover now