"Sebaiknya sekarang kita baca tahlil dan doa. Bukan waktunya kita meratap. Saira gak butuh ratapan kita. Ayo mas Imran pimpin tahlil ya." kata Ibu diangguki aku dan ayah. Ibu benar. Sekarang bukan waktu kami untuk meratap. Penyesalan memang selalu datang belakang tapi bukankah itu tidak ada gunanya?

"Kakakmu sangat menyayangimu Dit. Setiap hari dia tak pernah lepas memantaumu. Dia sengaja pindah ke surabaya hanya untuk melihat adiknya tumbuh. Bahkan dihembusan nafas terakhirnya dia masih mengingatmu. Ini ada buku diary kakakmu. Semoga kamu bisa mengerti dan mengenal kakakmu." kata Ibu sembari memberikan sebuah buku kecil untukku.

"Bahkan kakak begitu mengenalku tapi kenapa dia tak pernah menemuiku bu?"

"Dia gak mau bikin kamu bingung dit. Percaya sama ibu. Dia sangat menyayangimu seperti dia menyayangi Rama dan Risa."

"Aku juga sangat menyayangimu kak." kataku sembari mencium nisan kak Saira.

"Ah... Sekarang waktunya kita melihat Mala." kata Ibu sembari menghapus airmatanya.

"Dia ada dimana sekarang bu?" tanyaku

"Dia masih ada di RS Mardi Waluyo Dit. Usianya masih terlalu kecil dit. Dia masih perlu di inkubator. Kita akan menjenguknya." kata Ayah bangkit memelukku.

"Puri Yah?" tanyaku mengingat hari ini aku belum melihat dia.

"Dia udah disana Dit. Rudi yang bawa istrimu kesana."

"Jadi?"

"Tadi sebelum kesini ayah menyuruh mereka untuk pergi kerumah sakit duluan. Tapi ayah belum bilang masalah Mala. Ayah ingin kamu yang kasih tau istrimu sendiri. Ayo." kata Ayah lagi.

Aku, ayah dan ibu Azmy berangkat menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan aku membaca buku milik kak Saira. Ada foto dia disana. Dia sangat mirip dengan ibu. Wajahnya teduh sekali.

Aku menangis saat membaca lembar demi lembar buku itu. Disana hanya tertulis bagimana ia begitu menyayangiku. Bahkan kak Saira tau bahwa aku dan Puri gak akan memiliki anak. Dan dia memang telah merencanakan untuk memberikan Mala pada kami.

"Dit?" sebuah sentuhan mengagetkanku. Dia istriku. Aku langsung memeluknya. Aku tumpahkan segala rasa yang ada hatiku, tangis, kesedihan, penyesalan, kebahagiaan. Semuanya tumpah hanya dalam bentuk tangisan.

Puri hanya membalas pelukanku. Diam. Tepukan dibahuku membuatku tersadar bahwa aku harus menemui seseorang.

Aku dorong kursi roda istriku menuju ruang bayi. Dia ada disana. Dia Farzana Malayeka Kirei. Dia anakku. Dia akan menjadi anakku selamanya.

"Dia siapa Dit?" tanya Puri padaku saat kami ada di depan Mala. Aku menggenggam tangan istriku.

"Dia malaikat kecil kita sayang. Dia anakku. Anak kita."

"Maksud kamu?" tanya Puri tidak mengerti maksudku. Ada sorot kemarahan disana.

"Ibunya meninggal saat melahirkan dia satu bulan yang lalu. Ibunya menyerahkan hak asuhnya pada kita. Kamu pasti mengenal nama Saira? Raesha Azmy Malayeka Saira. Dia ibu dari anak ini." kataku sembari terus menggenggam tangannya. Airmatanya istriku mulai jatuh. Ku peluk ia. Mencoba menenangkan dia. Meskipun aku tak tau seberapa dekat istriku dengan kakakku.

"Dia kakakku sayang. Dia anak ayah dengan istri keduanya. Ayah dulu sempat berpoligami selama 5 tahun untuk memenuhi permintaan nenek. Ibu meminta cerai dari ayah saat bunda hamil aku. Ibu membawa kak Saira pergi tanpa pernah ayah tau keberadaannya. Hingga kemarin ibu datang ke rumah dan bilang pada ayah bunda kalau kak Saira telah meninggal dan dia menitipkan Mala pada kita."

"Aku gak menyangka bahwa mbak Saira adalah kakak iparku dit. Kita beberapa kali tanpa sengaja bertemu waktu dulu aku masih dirawat. Sewaktu dulu masih sering-sering kamu tinggal. Dia bilang dia akan menikah dalam waktu dekat."

"Dia gak jadi menikah yang. Dia diperkosa." kataku pahit. Puri menatapku tak percaya

"astagfirullah. Siapa yang tega berbuat sekejam itu Dit?"

"Ibu gak ngasih tau namanya. Tapi kata ibu dia udah dipenjara sekarang yang."

"Syukurlah kalau gitu."

"Hmm permisi pak bu." kata seorang suster pada kami.

"Iya sus. Ada yang bisa kami bantu?" tanyaku

"Bapak dan ibu pasti orangtuanya An. Farzana MK?"

"Iya kami orangtuanya? Bagaimana keadaan anak kami sus? Kami baru pulang berobat untuk istri saya."

"Ah jadi keadaan anaknya sudah sangat stabil. Berat badannya pun sekarang sudah normal. Hari ini an. Farzana sudah bisa dibawa pulang pak." katanya. Sungguh kabar yang sangat membahagiakan bagi kami.

"Hmm sus boleh saya gendong anak saya?" kata Puri membuatku tersenyum senang.

"Oh tentu bu. Sebentar saya bantu bu." kata suster itu sembari mengambil Mala dari dalam inkubator

Aku sangat senang melihat Puri menggendong Mala. Pemandangan yang selalu kami impikan. Mala pun seperti sangat nyaman dalam gendongannya. Terimakasih kak. Lagi-lagi kakak memberiku kebahagiaan yang tak ternilai harganya.

"Bapak bisa bayar biaya administrasi di depan dulu. Setelah itu adiknya bisa langsung diajak pulang." kata Suster menjelaskan.

"Iya sus makasih. Setelah ini saya akan kesana." kataku. Setelah suster itu pergi aku mencium kening istriku dan pipi gembul Mala. Dia terlalu pulas tertidur dalam gendongan Puri. Bahkan saat berkali-kali aku menciumnya bayi kecil itu sama sekali tak terusik hanya sesekali ia bergerak ringan lalu tertidur lagi.

"Radit. Jangan dicium terus Mala nya. Nanti kalau dia bangun terus nangis kan susah nenanginnya. Udah mending kamu segera bayar administrasinya biar kita bisa cepat pulang." kata istriku kesal.

"Bilang aja kalau kamu iri kan? Sekarang bukan cuma kamu yang aku cium tapi ada Mala juga kan."

"Radit!" teriak Puri tertahan.

Cup. Aku mengecup pipi istriku singkat.

"Yaudah aku ke kasir dulu. Kamu tunggu sini. Nak jagain bunda dulu ya." kataku sambil berlalu.

HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang