Bagian 11

2.6K 134 0
                                    

Radit memandang Puri dari kejauhan. Bukan dia tak mau melihat Puri dari dekat, dia hanya takut tak bisa mengontrol emosi dan hatinya. Dia tak mau melakukan hal-hal bodoh lagi. Cukup dulu dia mencintai gadis itu dengan nafsu. Kini dia harus berusaha menekan nafsunya untuk memegang tangan gadisnya untuk menguatkan.
"Dit... kamu kenapa melamun?" Tanya Pak Rudi ayah Puri.
"Ah enggak pak. Saya cuma lagi mikir aja, Puri kok gak capek ya setahun ini tidur terus?"
"Doakan saja Puri mau cepat bangun dit. Dia pasti senang liat kamu."
"Andai aja om tau bukan saya yang dicintai putri om. Astagfirullah. Inget dit pemilik cinta itu Allah. Serahkan saja semuanya pada Allah." Batin Radit
"Kamu kapan wisudanya Dit?"
"Ah iya om. Hari rabu saya wisudanya. Harusnya Puri juga wisuda ya om."
"Sudahlah Dit berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Semua ini udah jadi takdirnya Puri. Lagian kesetiaan kamu disini buat menunggu Puri terbangun pun sudah lebih dari cukup Dit."
"Iya om. Om boleh saya bicara dengan Puri?"
"Kamu gak perlu minta ijin sama om Dit. Yasudah om keluar dulu ya."
"Eh om disini aja. Takutnya kalau cuma ada saya sama Puri nanti yang ketiganya setan."
"Udah om percaya sama kamu. Om belum sholat dhuhur nih. Lagian kan ada ibu." Kata Rudi sambil berlalu pergi meninggalkan Radit yang masih ragu.
Perlahan Radit berjalan mendekati tempat tidur Puri. Wajahnya tetap cantik meskipun sangat pucat. Tak ada senyum disana. Radit duduk disamping tempat tidurnya. Wajahnya memandang Puri sekilas lalu menunduk.
"Assalamualaikum Ri... kamu gak capek ta tidur terus. Bangunlah Ri. Lusa hari Rabu aku wisuda. Harusnya kamu juga wisuda Ri. temen-temen kangen sama kamu. Mereka banyak yang titip salam ke aku. Termasuk ketiga sahabatmu. Mereka gak bisa kesini karena masih banyak yang harus mereka urusi untuk wisuda mereka. Ayolah Puri Rahmatika Zahara. Kamu lihat orang-orang yang menyayangimu, mereka siang malam berdoa untuk kesembuhanmu. Mereka melakukan segala cara, mencari bermacam-macam obat untuk kesembuhan kamu. Buka matamu Ri. Aku mohon. Tolong buka matamu. Kamu bukan snow white kan yang harus menunggu pangeranmu datang." Kata Radit menahan emosinya. Diluar hujan mulai datang. Radit memandang hujan dari balik jendela kamar rawat Puri. Radit ingat, Puri menyukai hujan. Bagi Puri ketika hujan itu datang saat itu pula David datang kepadanya. Tersenyum kepadanya.
"Puri... lihatlah diluar hujan. Tak maukah kamu merasakan kehadirannya?" Kata Radit mulai menyerah. Bagi Radit, Puri seakan menolaknya. Radit mencoba tersenyum. Mengambil alqur'an kecil yang biasa dia bawa. Membacakan surat yasin untuk Puri. Hal itu yang selalu Radit lakukan untuk Puri dari kejauhan.
"Radit... kamu nangis Le?" Tanya Ibu Dewi saat melihat Radit menangis saat membaca yasin.
"Ah enggak kok Bu. Saya kelilipan tadi."
"Ibu tau kamu pasti lelah menunggu Puri bangun. Pergilah nak kalau kamu memang sudah tak sanggup menunggu Puri lagi. Hidupmu masih harus berlanjut nak. Hidupmu bukan hanya untuk menunggu Puri terbangun. Lanjutkan hidupmu nak. Pilihlah gadis yang lebih pasti. Bukan putri ibu yang tak pasti kapan bangunnya."
"Bu, saya memang menangis. Tapi tangis saya bukan karena saya lelah. Saya merasa tak berguna. Saya tak bisa melakukan apapun untuk Puri. Untuk kesekian kalinya maafin saya bu. Karena keteledoran saya, Puri tak bisa menggapai citanya. Saya gak akan pernah pergi sebelum Puri yang meminta saya pergi bu. Itulah janji saya pada diri saya didepan makam David."
"David? Siapa dia?"
"Dia lelaki yang sangat dicintai oleh Puri. Dia meninggal 2 tahun lalu bu karena kecelakaan lalu lintas. Maaf sebelumnya kalau Radit tak pernah cerita tentang David."
"Tidak nak kamu tidak salah. Sudahlah, toh David sudah tenang disana."
"Besok saya kembali ke malang Bu. Saya rabu wisuda."
"Iya nak. Selamat ya atas kelulusan kamu. Semoga nanti Puri cepat sadar dan bisa melanjutkan kuliahnya."
"Iya bu aamiin. Ibu yang sabar ya. Allah pasti memberi yang terbaik untuk Puri."
"Iya Nak. Maaf ya, karena Puri dipindahkan ke Blitar, Nak Radit jadi harus bolak balik ke malang-blitar."
"Mungkin saya harus mulai membiasakannya bu."
"Terimakasih nak. Pergilah kalau kamu telah sangat lelah menunggu Puri."
"Ibu doakan saja yang terbaik untuk saya dan Puri. Biarlah hati saya dituntun oleh Sang Pemilik Hati."
"Kamu setelah ini ada rencana apa Dit?" Tanya Rudi saat memasuki ruangan
"Masih belum tahu om. Mau lihat peluang aja dulu om. Tapi rencananya sih mau buka warung sehat om. Doakan saja bisa terlaksana om, bu."
"Iya nak. Pasti itu. Bagi ibu sama bapak kamu sudah seperti anak kami sendiri."
"Terimakasih bu, om."
"Kamu ini, istriku dipanggil ibu nah masak saya dipanggil om. Panggil saja bapak dit."
"Ah iya Pak."

HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang